Sabtu, 21 Maret 2015

Makalah Tentang Syirkah



BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Banyaknya umat muslim yang belum mengetahui bagaimana seharusnya menjalankan syirkah atau perkongsian dalam memenuhi kebutuhan hidup di dunia ini yang sesuai dengan tuntunan syari’at. Hal ini menyebabkan kami untuk membuat sebuah makalah yang berjudul tentang “syirkah” guna untuk  memberikan sebuah pemahaman kepada para pembaca makalah ini. Pada zaman sekarang ini banyak orang-orang muslim yang menjalankan sistem syirkah atau perkongsian dengan mengikuti tata cara orang eropa atu barat yang belum tentu sesuai dengan apa yang diajarkan oleh syari’at.
Secara umum, prinsip syirkah atau bagi hasil dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyârakah, al-mudhârabah, al-muzâra’ah dan al-musâqah. Namun dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai al-musyârakah saja. Sedangkan yang lainnya dalam pembahasan yang lain.
Sungguhpun demikian, prinsip yang paling banyak dipakai adalah al-musyârakah dan al-mudhârabah, sedangkan al- muzâra’ah dan al-musâqah di pergunakan khusus untuk pembiyayaan pertanian oleh beberapa bank islam.
B.  Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat dipaparkan beberapa rumusan masalah yang berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam makalah ini sebagai berikut:
1.    Bagaimana pengertian dari syirkah?
2.    Bagaimana landasan hukum tentang adanya syirkah?
3.    Apa saja rukun dan syarat dari syirkah?
4.    Bagaimanakah macam-macam dari syirkah?
5.    Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya syirkah?
C.  Tujuan
1.      Memberikan informasi tentang pengertian dari syirkah.
2.      Untuk mengetahui tentang yang mendasari dari syirkah.
3.      Memberikan informasi tentang rukun dan syarat dari syirkah.
4.      Memberikan informasi tentang macam-macam dari syirkah.
5.      Untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang menyebabkan berakhirnya syirkah.



BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah atau perkongsian berarti:
الإختلاط أى خلط أحد المالين بالآخر بحيث لايمتزان عن بعضهما
"percampuran, yakni bercampunya salah satu dari dua harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya.[1]
Syirkah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/ expertise) dengan kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama.[2]
Sedangkan menurut istilah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama[3]
1.      menurut Hanafiah
الشركة هي عبارة عن عقد بين المتشاركين في رئس المال والربح
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian) antara dua orang yang berserikat didalam modal dan keuntungan.
2.      Menurut Malikiyah
هي اذن فى التصرف لهما معا انفسهما اى أن يأذن كل واحد من الشريكين لصاحبه فى ان يتصرف فى مال لهما مع إبقاء حق التصرف لكل منهما
Perkongsian adalah izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing memiliki hak untuk bertasharruf.
3.      menurut syafi’iyah
وفي الشرع: عبارة عن ثبوت الحق في الشيئ الواحد لشخصين فصاعدا على جهة الشيوع
Syirkah menurut syara adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama
4.      menurut Hanabilah
الشركة هي الإجتماع في استحقاق أو تصرف
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan atas hak atau tasarruf.
Dari definisi yang dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai pengertian dari syirkah bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yang  bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyârakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Melalui akad ini, kebutuhan nasabah untuk mendapatkan tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah mendapatkan pembiyaan dari bank. Selain digunakan untuk pembiyayan modal kerja, secara umum pembiyayaan musyarakah digunakan untuk pembelian barang investasi dan pembiyayaan proyek, bagi bank, pembiyayaan musyârakah dan memberi manfaat berupa keuntungan dari hasil pembiyayaan usaha.[4]
B. Hukum Syirkah
Syirkah  hukumnya diperbolehkan atau disyari’atkan  berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Al-Qur’an
وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ. ﴿٢٤﴾
Firman Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan firman-Nya pula:

فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء فِي الثُّلُثِ ﴿١٢﴾
Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12 perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2. Hadits
عن أبى هريرة رفعه الى النبي ص.م .قال: ان الله عزوجل يقول: أنا ثالث الشريكين مالم يخن أحدهما صاحبه فإذا خانه خرجت من بينهما
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman: “Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).[5]
3. Ijma’
Ijma’ ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan legitimasi syarikah secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya. Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegitan syirkah dalam usaha diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.[6]
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum muslimin telah berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat perbedaan dalam beberapa elemen darinya.[7]
C. Rukun dan Syarat Syirkah 
Rukun syirkah adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada perbedaan terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah hanya ada dua yaitu ijab (ungkapan melakukan penawaran perserikatan) dan kabul (ungkapan penerimaan perserikatan), istilah ijab dan kabul sering disebut dengan serah terima. Jika ada yang menambahkan selain ijab dan kabul dalam rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek akad menurut Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat.[8]
Syarat-syarat yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat bagian, sebagai berikut.[9]
1.      Sesuatu yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta maupun dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a) berkenaan dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2.      Semua yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua perkara yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah, dan b) benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda.
3.      Sesuatu yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a) modal (harta pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk kafalah, dan c) orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah umum, yakni pada semua macam jual beli atau perdagangan.
4.      Adapun syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah mufâwadhah.
Menurut Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat bahwa syirkah yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang lainnya batal. Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun fasid. Syirkah fasid adalah akad syirkah di mana salah satu syarat yang telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah terpenuhi maka syirkah dinyatakan shahih.[10]
D. Macam-Macam Syirkah
1.      Syirkah Amlâk (Hak Milik)
Yaitu perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli, hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh menggunakannya tanpa seijin rekannya. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud dengan syirkah amlâk adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu jenis barang tanpa akad baik bersifat ikhtiâri atau jabari.[11]
Syirkah milk juga dibagi menjadi menjadi dua yaitu:[12]
a.       Syirkah milk jabr, ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam pemilikan suatu benda secara paksa
b.      Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih untuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata dan berbagi dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.[13]
Misalnya: Si A dan si B diberi wasiat atau hadiah berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.
2.      Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Yaitu akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan, artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman modal dan kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya, dalam transaksi jual beli atau lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan kuasa masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-Macam Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Berdasarkan penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di dalam Islam terdapat lima macam syarikah, yaitu:[14]
a.       syirkah al-‘inân
Yaitu penggabungan harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya. Boleh satu pihak memiliki modal lebih besar dari pihak yang lain.
Sementara itu, Ibn Qudamah sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdurrahman Sadique menyebutkan bahwa syirkah al-‘inân adalah kerjasama dua orang atau lebih dalam hal modal yang dilaksanakan oleh mereka yang berserikat dalam hal modal tersebut sementara hasilnya dibagi bersama.[15]
Keuntungan dibagi dua sesuai presentase yang telah disepakati maupun kerugiannya. Sesuai dengan kaidah:
الربح على ما شرطا والوضيعة على قدر ما لين
Artinya: “keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian ditanggung sesuai dengan modal masing-masing”.
Dan hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir.
Contoh syirkah inân: A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh), misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya, masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%. sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).
Diriwayatkan oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).
b.      syirkah al-abdân
Yaitu perserikatan dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan, tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama sesama dokter di klinik, tukang besi, kuli angkut atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sekolah dan sebagainya.
Kerja sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.[16]
Contohnya: A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan. Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Syirkah ‘abdân hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah binMas’ud radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.” (HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
c.       syirkah al-mudârabah
Yaitu, persetujuan seseorang sebagai pemilik modal (investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola (mudhârib) dalam suatu perdagangan tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Adapun kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal saja.
Menurut jumhur ulama (Hanafiyah, malikiyah, Syafi’iah, Zahiriyah, dan Syiah Imamiyah) tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai salah satu bentuk perserikatan, karena mudharabah menurut mereka merupaka akad tersendiri dalam bentuk kerja sama yang lain yang tidak dinamakan dengan perserikatan.
Syarat-syarat mudârabah antara lain:[17]
1.      modal harus dinyatakan dengan jelas mengenai jumlahnya
2.      modal harus diserahkan kepada mudârib untuk memungkinkannya melakukan usaha
3.      modal harus dalam bentuk tunai bukan utang
4.      pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam persentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti
5.      kesepakatan ratio persentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan dalam kontrak
6.      pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudârib mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada shahib a-mâl
d.      syirkah al-wujûh
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik serta ahli dalam bisnis atau perserikatan tanpa modal. Mereka membeli barang secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di antara mereka.
Syirkah semacam ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan hanbaliyah, namun tidak sah menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Disebut syirkah wujûh karena didasarkan pada reputasi (wajâhah) kepercayaan (amânah), kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik, sehingga mereka membeli barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.[18]
Contohnya: A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh, dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah wujûh ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan kesepakatan.
e.       syirkah al-mufâwadhah.
Yaitu kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah Mufâwadhah juga merupakan syirkah komprehensif yang dalam syirkah itu semua anggota sepakat melakukan aliansi dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘înan, abdân dan wujûh. Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli, penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya. Atau syirkah ini bisa pula diartikan kerja sama dalam segala hal. Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya. Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.
Dengan demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan dalam hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama
Hukum Syirkah ini dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas ulama seperti Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya karena sulit untuk menetapkan prinsip persamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan ini.[19]
Adapun keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya; yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah‘inân), atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contohnya: A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja. Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdân, yaitu ketika B dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja, berarti terwujud syirkah‘inân di antara B dan C. Ketika B dan C membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya, berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian, bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
E. Hal –Hal Yang Membatalkan Syirkah[20]
1.      sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara umum
a.       pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal tersebut dikarenakan akad syirkah merupakan akad yang jâiz dan ghair lâzim, sehingga memungkinkan untuk di-fasakh.
b.      meninggalnya salah seorang anggota serikat.
c.       murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah domisilinya ke darul harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
d.     gilanya peserta yang terus-menerus, karena gila menghilangkan status wakil dari wakâlah, sedangkan syirkah mengandung unsur wakâlah.
2.      Sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
a.    Rusaknya harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota serikat sebelum digunakan untuk membeli dalam syirkah amwâl
b.    Tidak terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufâwadhah ketika akad akan dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada permulaan akad merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.


BAB III
PENUTUP

Simpulan
Syirkah adalah kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan. Mengenai landasan hukum tentang syirkah ini terdapat dalam al-qur’an, sunnah dan ijma.
Adapun rukun syirkah ada dua yaitu, ucapan (sighah) penawaran dan penerimaan (ijab dan qabul) dan pihak yang berkontrak. Dan mengenai syaratnya ada tiga yaitu, pertama, ucapan: berakad dianggap sah jika diucapkan secara verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan. Kedua, pihak yang berkontrak: disyaratkan mitra harus kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan. Ketiga, objek kontrak (dana dan kerja): modal yang diberikan harus tunai, emas, perak atau yang bernilai sama. Para ulama menyepakati hal ini.
Kemudian macam-macam syirkah ada dua macam yakni syirkah milk dan syirkah ‘uqûd. Adapun yang membatalkan syirkah ada yang secara umum dan ada pula yang secara khusus, seperti yang telah dijelaskan diatas.



DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ân al-Karîm.
Syafei’, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Cv Pustaka Setia, 2001.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Cet. 1. Jakarta: Gema Insani, 2001.
Muhammad. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Edisi 1. Cet. 1. Yogyakarta: Bpfe-Yogyakarta, 2005
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: Amzah, 2010.
Ghazaly, Abdul Rahman dan Ihsan, Ghufron dan Shidiq, Sapiudin. Fiqh Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2010.
Al-baghâ, Musthofâ Dayb. al-Tadzhîb fî adillah Matan al-Ghôyah wa al-taqrîb. Cet. 1. Malang: Ma’had Sunan Ampel al-Ali Uin Maulana Malik Ibrahim, 2013.
Naja, H.R. Daeng. Akad Bank Syariah. Cet. 1. Yogyakarta: pustaka Yustisia, 2011.
Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan kontemporer. Cet. 1. Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Sadique, Muhammad Abdurrahman. Essentials of Mushârakah and Mudhârabah. Edisi 1. Internasional islamic University Malaysia: IIUM Press, 2009.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al-fikr, 2006.
Sahrani, Sohari dan Abdullah, Ru’fah. Fikih Muamalah. Cet. 1. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.


[1] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000), h. 183
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari teori Ke Praktik, (Cet. I; Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 90
[3] Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, h. 183
[4] H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2011), h. 51
[5] Musthofa Dayb al-Baghâ, at Tadzhîb Fî Adillah Matni al Ghôyah wa al-taqrîb, (Malang: Ma’had Sunan Ampel al Ali, 2013), h. 135
[6] Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, Edisi I (Cet. I; Yogyakarta: Bpfe Yogyakarta, 2005), h. 32
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah, h. 91
[8] Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, Edisi. I, (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 128
[9] Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Cet. I; Bogor: Ghalia Indonesia, 2011), h. 179
[10] Dimyauddin Djuwaini, pengantar Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 217
[11] Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, (Beirut: Dar al-fikr, 2006), h. 932
[12] Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, h. 181
[13] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Cet. 1; Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), h. 153
[14] Abdu Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat, h. 132
[15] Muhammad Abdurrahman Sadique, Essentials of Musyarakah and Mudharabah: Islamic Texts on Theory of Partnership, Edisi. 1, (Internasional Islamic University Malaysia: IIUM Press, 2009), h. 26
[16] Muhammad Abdurrahman Sadique, Essentials of Musyarakah and Mudharabah, h. 30
[17] H.R. Daeng Naja, Akad Bank Syariah, h. 52
[18] Muhammad Abdurrahman Sadique, Essentials of Musyârakah and Mudhârabah, h. 32
[19] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, h. 154
[20] Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, Edisi. I, (Cet. I; Jakarta: Amzah, 2010), h. 363