BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Banyaknya umat muslim yang belum mengetahui bagaimana
seharusnya menjalankan syirkah atau perkongsian dalam memenuhi kebutuhan
hidup di dunia ini yang sesuai dengan tuntunan syari’at. Hal ini menyebabkan
kami untuk membuat sebuah makalah yang berjudul tentang “syirkah” guna
untuk memberikan sebuah pemahaman kepada
para pembaca makalah ini. Pada zaman sekarang ini banyak orang-orang muslim
yang menjalankan sistem syirkah atau perkongsian dengan mengikuti tata
cara orang eropa atu barat yang belum tentu sesuai dengan apa yang diajarkan
oleh syari’at.
Secara umum, prinsip syirkah atau bagi hasil
dalam perbankan syariah dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu al-musyârakah,
al-mudhârabah, al-muzâra’ah dan al-musâqah. Namun dalam makalah
ini akan dijelaskan mengenai al-musyârakah saja. Sedangkan yang lainnya
dalam pembahasan yang lain.
Sungguhpun demikian, prinsip yang paling banyak
dipakai adalah al-musyârakah dan al-mudhârabah, sedangkan al- muzâra’ah
dan al-musâqah di pergunakan khusus untuk pembiyayaan pertanian oleh
beberapa bank islam.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat
dipaparkan beberapa rumusan masalah yang berkaitan dengan permasalahan yang ada
dalam makalah ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian dari syirkah?
2. Bagaimana landasan hukum tentang adanya syirkah?
3. Apa saja rukun dan syarat dari syirkah?
4. Bagaimanakah macam-macam dari syirkah?
5. Hal-hal apa sajakah yang menyebabkan
berakhirnya syirkah?
C. Tujuan
1. Memberikan informasi tentang pengertian dari syirkah.
2. Untuk mengetahui tentang yang mendasari dari syirkah.
3. Memberikan informasi tentang rukun dan syarat
dari syirkah.
4. Memberikan informasi tentang macam-macam dari syirkah.
5. Untuk mengetahui hal-hal apa sajakah yang
menyebabkan berakhirnya syirkah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Syirkah
Secara etimologi, syirkah
atau perkongsian berarti:
الإختلاط أى خلط أحد المالين
بالآخر بحيث لايمتزان عن بعضهما
"percampuran, yakni bercampunya salah satu dari dua
harta dengan harta lainnya tanpa dapat dibedakan antara keduanya.[1]
Syirkah adalah
akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana
masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/ expertise) dengan
kesepakatan, bahwa keuangan dan resiko ditanggung bersama.[2]
Sedangkan menurut
istilah terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama[3]
1.
menurut Hanafiah
الشركة هي عبارة عن عقد بين
المتشاركين في رئس المال والربح
Syirkah adalah suatu ungkapan tentang akad (perjanjian)
antara dua orang yang berserikat didalam modal dan keuntungan.
2.
Menurut Malikiyah
هي اذن فى التصرف لهما معا
انفسهما اى أن يأذن كل واحد من الشريكين لصاحبه فى ان يتصرف فى مال لهما مع إبقاء
حق التصرف لكل منهما
Perkongsian adalah
izin untuk mendayagunakan (tasharruf) harta yang dimiliki dua orang
secara bersama-sama oleh keduanya, yakni keduanya saling mengizinkan kepada
salah satunya untuk mendayagunakan harta milik keduanya, namun masing-masing
memiliki hak untuk bertasharruf.
3.
menurut syafi’iyah
وفي الشرع: عبارة عن ثبوت الحق في
الشيئ الواحد لشخصين فصاعدا على جهة الشيوع
Syirkah menurut syara’ adalah suatu ungkapan tentang tetapnya hak atas suatu
barang bagi dua orang atau lebih secara bersama-sama
4.
menurut Hanabilah
الشركة هي الإجتماع في استحقاق
أو تصرف
Syirkah adalah berkumpul atau bersama-sama dalam kepemilikan
atas hak atau tasarruf.
Dari definisi yang
dikemukakan oleh beberapa para ulama mengenai pengertian dari syirkah
bahwa yang dimaksud dengan syirkah adalah kerja sama antara dua orang
atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang masing-masing dari harta yang
melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi satu tanpa ada perbedaan satu
dengan yang lainnya yang keuntungan dan kerugiannya di tanggung bersama sesuai
kesepakatan yang telah di laksanakan.
Transaksi
syirkah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset
yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyârakah adalah
semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih di mana mereka secara
bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya, baik yang berwujud maupun
yang tidak berwujud. Melalui akad ini, kebutuhan nasabah untuk mendapatkan
tambahan modal kerja dapat terpenuhi setelah mendapatkan pembiyaan dari bank.
Selain digunakan untuk pembiyayan modal kerja, secara umum pembiyayaan
musyarakah digunakan untuk pembelian barang investasi dan pembiyayaan proyek,
bagi bank, pembiyayaan musyârakah dan memberi manfaat berupa keuntungan
dari hasil pembiyayaan usaha.[4]
B. Hukum
Syirkah
Syirkah hukumnya
diperbolehkan atau disyari’atkan berdasarkan Al-Qur’an, Al-Hadits
dan ijma’ (konsensus) kaum muslimin. Dan
berikut ini kami sebutkan dalil-dalilnya, di antaranya:
1. Al-Qur’an
وَإِنَّ كَثِيراً مِّنْ الْخُلَطَاء لَيَبْغِي بَعْضُهُمْ
عَلَى بَعْضٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَقَلِيلٌ مَّا هُمْ.
﴿٢٤﴾
Firman
Allah Ta’ala: “Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat
itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh; dan amat sedikitlah
mereka ini.” (QS. Shaad: 24)
Dan
firman-Nya pula:
فَإِن كَانُوَاْ أَكْثَرَ مِن ذَلِكَ فَهُمْ شُرَكَاء
فِي الثُّلُثِ ﴿١٢﴾
“Maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (QS. An-Nisa’: 12)
Kedua
ayat di atas menunjukkan perkenanan dan pengakuan Allah akan adanya
perserikatan dalam kepemilikan harta. Hanya saja dalam surat An-Nisa’ ayat 12
perkongsian terjadi secara otomatis karena waris, sedangkan dalam surat Shaad
ayat 24 terjadi atas dasar akad (transaksi).
2. Hadits
عن أبى هريرة رفعه الى النبي ص.م .قال: ان الله عزوجل
يقول: أنا ثالث الشريكين مالم يخن أحدهما صاحبه فإذا خانه خرجت من بينهما
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah azza wa jalla berfirman:
“Aku pihak ketiga dari dua orang yang berserikat selama salah satunya tidak
mengkhianati pihak lainnya. Kalau salah satunya berkhianat, Aku keluar
dari keduanya.” (HR. Abu Daud no.3383, dan Al-Hakim no.2322).[5]
3. Ijma’
Ijma’
ulama mengatakan, bahwa muslimin telah berkonsensus akan legitimasi syarikah
secara global, walaupun perbedaan pendapat dalam beberapa elemen dari padanya.
Maka secara tegas dapat dikatakan bahwa kegitan syirkah dalam usaha
diperbolehkan dalam islam, sebagai dasar hukumnya telah jelas dan tegas.[6]
Ibnu
Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata, “Kaum muslimin telah
berkonsensus terhadap legitimasi musyarakah secara global walaupun terdapat
perbedaan dalam beberapa elemen darinya.[7]
C. Rukun
dan Syarat Syirkah
Rukun syirkah
adalah sesuatu yang harus ada ketika syirkah itu berlangsung. Ada perbedaan
terkait dengan rukun syirkah. Menurut ulama Hanafiyah rukun syirkah hanya ada
dua yaitu ijab (ungkapan melakukan penawaran perserikatan) dan kabul
(ungkapan penerimaan perserikatan), istilah ijab dan kabul sering disebut
dengan serah terima. Jika ada yang menambahkan selain ijab dan kabul dalam
rukun syirkah seperti adanya kedua orang yang berakad dan objek akad menurut
Hanafiyah itu bukan termasuk rukun tetapi termasuk syarat.[8]
Syarat-syarat
yang berhubungan dengan syirkah menurut Hanafiyah dibagi menjadi empat
bagian, sebagai berikut.[9]
1. Sesuatu
yang bertalian dengan semua bentuk syirkah, baik dengan harta maupun
dengan yang lainnya. Dalam hal ini terdapat dua syarat, yaitu; a) berkenaan
dengan benda, maka benda yang diakadkan harus dapat diterima sebagai
perwakilan, dan b) berkenaan dengan keuntungan, yaitu pembagian keuntungan
harus jelas dan dapat diketahui dua pihak.
2. Semua
yang bertalian dengan syirkah mâl. Dalam hal ini terdapat dua perkara
yang harus dipenuhi, yaitu; a) bahwa modal yang dijadikan objek akad syirkah
adalah dari alat pembayaran (nuqud), seperti junaih, riyal dan rupiah,
dan b) benda yang dijadikan modal ada ketika akad syirkah dilakukan, baik
jumlahnya sama maupun berbeda.
3. Sesuatu
yang bertalian dengan syirkah mufawadhah, bahwa disyaratkan; a) modal (harta
pokok) harus sama, b) orang yang bersyirkah adalah ahli untuk kafalah, dan c)
orang yang dijadikan objek akad, disyaratkan melakukan syirkah umum, yakni pada
semua macam jual beli atau perdagangan.
4. Adapun
syarat yang bertalian dengan syirkah ‘inan sama dengan syarat syirkah mufâwadhah.
Menurut
Malikiyah, syarat-syarat yang bertalian dengan orang yang melakukan akad ialah
merdeka, baligh, dan pintar (rusyd). Imam Syafi’i berpendapat bahwa syirkah
yang sah hukumnya hanyalah syirkah ‘inan, sedangkan syirkah yang
lainnya batal. Akad syirkah ada kalanya hukumnya shahih ataupun fasid.
Syirkah fasid adalah akad syirkah di mana salah satu syarat yang
telah disebutkan tidak dipenuhi, jika semau syarat sudah terpenuhi maka syirkah
dinyatakan shahih.[10]
D.
Macam-Macam Syirkah
1.
Syirkah
Amlâk (Hak Milik)
Yaitu
perserikatan dua orang atau lebih yang dimiliki melalui transaksi jual beli,
hadiah, warisan atau yang lainnya. Dalam bentuk syirkah seperti ini
kedua belah pihak tidak berhak mengusik bagian rekan kongsinya, ia tidak boleh
menggunakannya tanpa seijin rekannya. Menurut Sayyid Sabiq, yang dimaksud
dengan syirkah amlâk adalah bila lebih dari satu orang memiliki suatu
jenis barang tanpa akad baik bersifat ikhtiâri atau jabari.[11]
Syirkah milk juga
dibagi menjadi menjadi dua yaitu:[12]
a.
Syirkah milk jabr, ialah berkumpulnya dua orang atau lebih dalam
pemilikan suatu benda secara paksa
b. Syirkah milk al-ikhtiyar, ialah ibarat kesepakatan dua orang atau lebih
untuk menyerahkan harta mereka masing-masing supaya memperoleh hasil dengan
cara mengelola harta itu, bagi setiap yang berserikat memperoleh bagian yang
ditentukan dari keuntungan.
Syirkah milk tercipta karena warisan, wasiat atau kondisi lain
yang mengakibatkan pemilikan satu aset oleh dua orang atau lebih. Dalam
musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih terbagi dalam dua aset nyata
dan berbagi dari keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.[13]
Misalnya: Si A dan si B diberi wasiat atau hadiah
berupa sebuah mobil oleh seseorang dan keduanya menerimanya, atau membelinya
dengan uang keduanya, atau mendapatkannya dari hasil warisan, maka mereka
berdua berserikat dalam kepemilikan mobil tersebut.
2.
Syirkah
Uqûd (Transaksional/kontrak)
Yaitu
akad kerja sama antara dua orang yang bersekutu dalam modal dan keuntungan,
artinya kerjasama ini didahului oleh transaksi dalam penanaman modal dan
kesepakatan pembagian keuntungan. Misalnya, dalam transaksi jual beli atau
lainnya. Bentuk syirkah seperti inilah yang hendak kami bahas dalam
tulisan kali ini. Dalam syirkah seperti ini, pihak-pihak yang
berkongsi berhak menggunakan barang syirkah dengan kuasa
masing-masing. Dalam hal ini, seseorang bertindak sebagai pemilik barang, jika
yang digunakan adalah miliknya. Dan sebagai wakil, jika barang yang
dipergunakan adalah milik rekannya.
Macam-Macam
Syirkah Uqûd (Transaksional/kontrak)
Berdasarkan
penelitian para ulama fikih terdahulu terhadap dalil-dalil syar’i, bahwa di
dalam Islam terdapat lima macam syarikah, yaitu:[14]
a.
syirkah al-‘inân
Yaitu penggabungan
harta atau modal dua orang atau lebih yang tidak selalu sama jumlahnya. Boleh
satu pihak memiliki modal lebih besar dari pihak yang lain.
Sementara
itu, Ibn Qudamah sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdurrahman Sadique
menyebutkan bahwa syirkah al-‘inân adalah kerjasama dua orang atau
lebih dalam hal modal yang dilaksanakan oleh mereka yang berserikat dalam hal
modal tersebut sementara hasilnya dibagi bersama.[15]
Keuntungan
dibagi dua sesuai presentase yang telah disepakati maupun kerugiannya. Sesuai
dengan kaidah:
الربح على
ما شرطا والوضيعة على قدر ما لين
Artinya: “keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan
kerugian ditanggung sesuai dengan modal masing-masing”.
Dan
hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan konsensus para
ulama, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu al-Mundzir.
Contoh syirkah
inân: A dan B pengrajin atau tukang kayu. A dan B sepakat menjalankan
bisnis dengan memproduksi dan menjualbelikan meubel. Masing-masing memberikan
konstribusi modal sebesar Rp.50 juta dan keduanya sama-sama bekerja
dalam syirkah tersebut. Dalam syirkah ini, disyaratkan
modalnya harus berupa uang (nuqûd); sedangkan barang (‘urûdh),
misalnya rumah atau mobil, tidak boleh dijadikan modal syirkah, kecuali
jika barang itu dihitung nilainya pada saat akad.
Keuntungan
didasarkan pada kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing
mitra usaha (syarîk) berdasarkan porsi modal. Jika, misalnya,
masing-masing modalnya 50%, maka masing-masing menanggung kerugian sebesar 50%.
sebagaimana kaidah fikih yang berlaku, yakni (Ar-Ribhu ‘Alâ mâ
Syarathâ wal Wadhii’atu ‘Alâ Qadril Mâlain).
Diriwayatkan
oleh Abdur Razaq dalam kitab Al-Jâmi’, bahwa Ali bin Abi
Thalib radhiyallahu ‘anhu pernah berkata, “Kerugian
didasarkan atas besarnya modal, sedangkan keuntungan didasarkan atas
kesepakatan mereka (pihak-pihak yang bersyirkah).”
b.
syirkah al-abdân
Yaitu perserikatan
dalam bentuk kerja yang hasilnya dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan,
tanpa konstribusi modal (mâl), seperti kerja sama sesama dokter di
klinik, tukang besi, kuli angkut atau sesama arsitek untuk menggarap sebuah
proyek, atau kerja sama dua orang penjahit untuk menerima order pembuatan
seragam sekolah dan sebagainya.
Kerja
sama semacam ini dibolehkan menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, dan
Hanabilah, namun imam Syafi’i melarangnya.[16]
Contohnya:
A dan B. keduanya adalah nelayan, bersepakat melaut bersama untuk mencari ikan.
Mereka sepakat pula, jika memperoleh ikan dan dijual, hasilnya akan dibagi
dengan ketentuan: A mendapatkan sebesar 60% dan B sebesar 40%.
Syirkah
‘abdân hukumnya boleh berdasarkan dalil as-Sunnah. Dari Abdullah binMas’ud radhiyallahu
anhu, ia berkata, “Aku pernah berserikat dengan Ammar bin Yasir dan
Sa’ad bin Abi Waqash mengenai harta rampasan perang pada Perang Badar. Sa’ad
membawa dua orang tawanan, sementara aku dan Ammar tidak membawa apa pun.”
(HR. Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah)
c.
syirkah al-mudârabah
Yaitu,
persetujuan seseorang sebagai pemilik modal (investor) menyerahkan sejumlah
modal kepada pihak pengelola (mudhârib) dalam suatu perdagangan
tertentu yang keuntungannya dibagi sesuai dengan kesepakatan bersama. Adapun
kerugiannya ditanggung oleh pemilik modal saja.
Menurut
jumhur ulama (Hanafiyah, malikiyah, Syafi’iah, Zahiriyah, dan Syiah Imamiyah)
tidak memasukkan transaksi mudharabah sebagai salah satu bentuk perserikatan,
karena mudharabah menurut mereka merupaka akad tersendiri dalam bentuk kerja
sama yang lain yang tidak dinamakan dengan perserikatan.
Syarat-syarat
mudârabah antara lain:[17]
1.
modal harus dinyatakan dengan jelas mengenai
jumlahnya
2.
modal harus diserahkan kepada mudârib untuk
memungkinkannya melakukan usaha
3.
modal harus dalam bentuk tunai bukan utang
4.
pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam
persentase dari keuntungan yang mungkin dihasilkan nanti
5.
kesepakatan ratio persentase harus dicapai melalui
negosiasi dan dituangkan dalam kontrak
6.
pembagian keuntungan baru dapat dilakukan setelah mudârib
mengembalikan seluruh atau sebagian modal kepada shahib a-mâl
d.
syirkah al-wujûh
Yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan nama baik
serta ahli dalam bisnis atau perserikatan tanpa modal. Mereka membeli barang
secara kredit (hutang) dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara
tunai, lalu keuntungan yang didapat dibagi bersama atas dasar kesepakatan di
antara mereka.
Syirkah semacam
ini juga dibolehkan menurut kalangan hanafiyah dan hanbaliyah, namun tidak sah
menurut kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Zhahiriyah.
Disebut syirkah
wujûh karena didasarkan pada reputasi (wajâhah) kepercayaan (amânah),
kedudukan, ketokohan, atau keahlian seseorang di tengah masyarakat. Tak seorang
pun memiliki modal, namun mereka memiliki nama baik, sehingga mereka membeli
barang secara hutang dengan jaminan nama baik tersebut.[18]
Contohnya:
A dan B adalah tokoh yang dipercaya pedagang. Lalu A dan B ber-syirkah wujûh,
dengan cara membeli barang dari seorang pedagang (misalnya C) secara kredit. A
dan B bersepakat, masing-masing memiliki 50% dari barang yang dibeli. Lalu
keduanya menjual barang tersebut dan keuntungannya dibagi dua, sedangkan harga
pokoknya dikembalikan kepada C (pedagang). Dalam syirkah wujûh ini,
keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, bukan berdasarkan prosentase barang
dagangan yang dimiliki; sedangkan kerugian ditanggung oleh masing-masing mitra
usaha berdasarkan prosentase barang dagangan yang dimiliki, bukan berdasarkan
kesepakatan.
e.
syirkah al-mufâwadhah.
Yaitu
kerja sama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan suatu porsi
dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak membagi
keuntungan dan kerugian secara sama.
Syirkah
Mufâwadhah juga merupakan syirkah komprehensif
yang dalam syirkah itu semua anggota sepakat melakukan aliansi
dalam semua jenis kerja sama, seperti ‘înan, abdân dan wujûh.
Di mana masing-masing menyerahkan kepada pihak lain hak untuk mengoperasikan
segala aktivitas yang menjadi komitmen kerja sama tersebut, seperti jual beli,
penjaminan, penggadaian, sewa menyewa, menerima tenaga kerja, dan sejenisnya.
Atau syirkah ini bisa pula diartikan kerja sama dalam segala
hal. Namun tidak termasuk dalam syirkah ini berbagai hasil
sampingan yang didapatkannya, seperti barang temuan, warisan dan sejenisnya.
Dan juga masing-masing tidak menanggung berbagai bentuk denda, seperti
mengganti barang yang dirampas, ganti rugi syirkah , mengganti
barang-barang yang dirusak dan sejenisnya.
Dengan
demikian, syarat utama dari Syirkah ini adalah kesamaan dalam
hal-hal berikut: Dana (modal) yang diberikan, kerja, tanggung jawab, beban
utang dibagi oleh masing-masing pihak, dan agama
Hukum Syirkah ini
dalam pengertian di atas dibolehkan menurut mayoritas ulama seperti Hanafiyah,
Malikiyah dan Hanabilah. Sebab, setiap jenis syirkah yang sah ketika
berdiri sendiri, maka sah pula ketika digabungkan dengan jenis syirkah
lainnya. Namun, imam asy-Syafi’i melarangnya karena sulit untuk menetapkan
prinsip persamaan modal, kerja dan keuntungan dalam perserikatan ini.[19]
Adapun
keuntungan yang diperoleh dalam syirkah ini dibagi sesuai
dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah-nya;
yaitu ditanggung oleh para pemodal sesuai porsi modal (jika berupa syirkah‘inân),
atau ditanggung pemodal saja (jika berupa syirkah mudhârabah), atau
ditanggung mitra-mitra usaha berdasarkan persentase barang dagangan yang
dimiliki (jika berupa syirkah wujûh).
Contohnya:
A adalah pemodal, berkonstribusi modal kepada B dan C, dua insinyur teknik
sipil, yang sebelumnya sepakat, bahwa masing-masing berkonstribusi kerja.
Kemudian B dan C juga sepakat untuk berkonstribusi modal, untuk membeli barang
secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada B dan C.
Dalam hal
ini, pada awalnya yang ada adalah syirkah ‘abdân, yaitu ketika B
dan C sepakat masing-masing ber-syirkah dengan memberikan konstribusi
kerja saja. Lalu, ketika A memberikan modal kepada B dan C, berarti di antara
mereka bertiga terwujud syirkah mudhârabah. Di sini A sebagai
pemodal, sedangkan B dan C sebagai pengelola. Ketika B dan C sepakat bahwa
masing-masing memberikan konstribusi modal, di samping konstribusi kerja,
berarti terwujud syirkah‘inân di antara B dan C. Ketika B dan C
membeli barang secara kredit atas dasar kepercayaan pedagang kepada keduanya,
berarti terwujud syirkah wujûh antara B dan C. Dengan demikian,
bentuk syirkah seperti ini telah menggabungkan semua jenis syirkah
yang ada, yang disebut syirkah mufâwadhah.
E. Hal
–Hal Yang Membatalkan Syirkah[20]
1. sebab-sebab yang membatalkan syirkah secara umum
a.
pembatalan oleh salah seorang anggota serikat. Hal
tersebut dikarenakan akad syirkah merupakan akad yang jâiz dan ghair
lâzim, sehingga memungkinkan untuk di-fasakh.
b.
meninggalnya salah seorang anggota serikat.
c.
murtadnya salah seorang anggota serikat dan berpindah
domisilinya ke darul harb. Hal ini disamakan dengan kematian.
d. gilanya
peserta yang terus-menerus, karena gila menghilangkan status wakil dari wakâlah,
sedangkan syirkah mengandung unsur wakâlah.
2. Sebab yang membatalkan syirkah secara khusus
a. Rusaknya
harta syirkah seluruhnya atau harta salah seorang anggota serikat
sebelum digunakan untuk membeli dalam syirkah amwâl
b. Tidak
terwujudnya persamaan modal dalam syirkah mufâwadhah ketika akad akan
dimulai. Hal tersebut karena adanya persamaan antara modal pada permulaan akad
merupakan syarat yang penting untuk keabsahan akad.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Syirkah adalah
kerja sama antara dua orang atau lebih dalam bidang usaha atau modal yang
masing-masing dari harta yang melakukan syirkah tersebut berbaur menjadi
satu tanpa ada perbedaan satu dengan yang lainnya yang keuntungan dan
kerugiannya di tanggung bersama sesuai kesepakatan yang telah di laksanakan. Mengenai
landasan hukum tentang syirkah ini terdapat dalam al-qur’an, sunnah dan ijma.
Adapun
rukun syirkah ada dua yaitu, ucapan (sighah) penawaran dan penerimaan (ijab
dan qabul) dan pihak yang berkontrak. Dan mengenai syaratnya ada tiga
yaitu, pertama, ucapan: berakad dianggap sah jika diucapkan secara
verbal atau ditulis. Kontrak musyarakah dicatat dan disaksikan. Kedua,
pihak yang berkontrak: disyaratkan mitra harus kompeten dalam memberikan atau
diberikan kekuasaan perwakilan. Ketiga, objek kontrak (dana dan kerja):
modal yang diberikan harus tunai, emas, perak atau yang bernilai sama. Para
ulama menyepakati hal ini.
Kemudian
macam-macam syirkah ada dua macam yakni syirkah milk dan syirkah
‘uqûd. Adapun yang membatalkan syirkah ada yang secara umum dan ada
pula yang secara khusus, seperti yang telah dijelaskan diatas.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ân al-Karîm.
Syafei’, Rachmat. Fiqih Muamalah.
Bandung: Cv Pustaka Setia, 2001.
Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah Dari Teori ke Praktik. Cet.
1. Jakarta: Gema Insani, 2001.
Muhammad. Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Edisi 1. Cet.
1. Yogyakarta: Bpfe-Yogyakarta, 2005
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta:
Amzah, 2010.
Ghazaly, Abdul Rahman dan Ihsan, Ghufron dan Shidiq, Sapiudin. Fiqh
Muamalat. Edisi 1. Cet. 1. Jakarta: kencana Prenada Media Group, 2010.
Al-baghâ, Musthofâ Dayb. al-Tadzhîb fî adillah Matan al-Ghôyah wa
al-taqrîb. Cet. 1. Malang: Ma’had Sunan Ampel al-Ali Uin Maulana Malik
Ibrahim, 2013.
Naja, H.R. Daeng. Akad Bank Syariah. Cet. 1. Yogyakarta: pustaka
Yustisia, 2011.
Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan kontemporer. Cet. 1.
Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
Sadique, Muhammad Abdurrahman. Essentials of Mushârakah and Mudhârabah.
Edisi 1. Internasional islamic University Malaysia: IIUM Press, 2009.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah, Juz III,
(Beirut: Dar al-fikr, 2006.
Sahrani, Sohari dan Abdullah, Ru’fah. Fikih Muamalah. Cet. 1. Bogor:
Ghalia Indonesia, 2011.
[2] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari teori Ke Praktik, (Cet.
I; Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 90
[5] Musthofa Dayb al-Baghâ, at Tadzhîb Fî
Adillah Matni al Ghôyah wa al-taqrîb, (Malang: Ma’had Sunan Ampel al Ali,
2013), h. 135
[6] Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah, Edisi I
(Cet. I; Yogyakarta: Bpfe Yogyakarta, 2005), h. 32
[8] Abdul Rahman Ghazali, Ghufron Ihsan, Sapiudin Shidiq, Fiqh Muamalat,
Edisi. I, (Cet. I; Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 128
[9] Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, (Cet. I; Bogor:
Ghalia Indonesia, 2011), h. 179
[10] Dimyauddin Djuwaini, pengantar Fiqh Muamalah, (Cet. 1; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), h. 217
[12] Sohari Sahrani, Ru’fah Abdullah, Fikih Muamalah, h. 181
[13] Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Cet. 1; Bogor:
Ghalia Indonesia, 2012), h. 153
[15] Muhammad Abdurrahman Sadique, Essentials of Musyarakah and Mudharabah:
Islamic Texts on Theory of Partnership, Edisi. 1, (Internasional Islamic
University Malaysia: IIUM Press, 2009), h. 26