BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ilmu hukum
sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang meneliti gejala hukum dalam masyarakat
telah berlangsung selama berabad-abad. Di dalam penelitiannya terhadap bidang
kehidupan hukum selama berabad-abad ini, ilmu hukum telah berkembang menjadi
suatu jaringan dari berbagai spesialisasi yang dinamakan hukum pidana, hukum
perdata, hukum tata negara, hukum internasional, dan seterusnya. Dalam keadaan
seperti demikian ternyata masih diperlukannya ilmu pengetahuan yang meneliti
bidang hukum disamping ilmu hukum, yakni yang disebut dengan sosiologi hukum. Akan
tetapi di dalam kenyataannya, sering terdengar adanya kekecewaan dari sebagian
orang, tentang kegagalan dari ahli-ahli hukum dan hukum untuk memainkan peran
yang lebih aktif dan memberikan arti lebih positif bagi proses
pembangunan.
Dalam
kalimat yang lebih vulgar, Satjipto Rahardjo mengungkapkn bahwa, telah
terjadi kemandulan dari hukum dan ilmu hukum yang ada di
Indonesia.Terjadinya keadaan yang demikian, menurut Satjipto Rahardjo,
hal ini dikarenakan hukum yang berkembang di Indonesia sampai dengan dasawarsa
1980-an dinilai tidak mendukung arah perubahan masyarakat dan dengan demikian
juga tidak membantu berhasilnya usaha-usaha produktif yang sedang dijalankan
masyarakat. sedangkan ilmu hukumnya pun hanya mendasarkan pada konsep-konsep
mengenai dan metode pendekatan terhadap hukum yang tidak peka terhadap
perkembangan, perubahan dan proses sosial yang sedang berlangsung di dalam
masyarakat.
Pada saat
itu para ahli hukumnya lebih banyak dipandang sebagai tukang-tukang dan
montir-montir dari mesin hukum, yang terasing dari masyarakat dan
problem-problemnya dan tidak mempunyai daya kreatif untuk menempatkan sistem
hukumnya dalam lingkungan masyarakat masing-masing.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa saja metode pendekatan yang digunakan dalam mempelajari
sosiologi hukum?
2. Bagaimana cara penerapan metode pendekatan yang digunakan dalam
mempelajari sosiologi hukum terhadap masyarakat?
C. Tujuan
1. Untuk memberikan
pengetahuan tentang metode apa sajakah yang digunakan dalam mempelajari
sosiologi hukum.
2. Untuk memberikan
pemahaman dalam penerapan metode yang digunakan dalam mempelajari sosiologi
hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Teoritis
Pendekatan
ini menekankan pada sebuah instrumen yang ada pada kajian sosiologi hukum
melalui berbagai macam penalaran dan logika yang itu hanya bisa diterima dengan
akal saja. Adam podgorecki pernah menyatakan seperti yang dikutip oleh
Soerjono, bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin ilmu teoritis yang
umumnya mempelajari keteraturan dari berfungsinya hukum. Tujuan disiplin ilmu
itu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang disadari
secara rasional dan didasarkan pada dogmatisme yang mempunyai dasar yang
akurat. Oleh karena itu tujuan dari sosiologi hukum adalah untuk menyajikan
sebanyak-banyaknya kondisi yang diperlukan agar hukum dapat berlaku secara
efisien.[1]
Menurut
Thomas S.Khun, yang menyebut sebagai paradigma dominan dengan kata lain bahwa
dapat disebut juga dengan pendekatan teoritis, mencakup unsur-unsur
kepercayaan, nilai-nilai, aturan-aturan, cara-cara dan dugaan-dugaan yang
dipunyai warga masyarakat tertentu. Oleh karena itu pokok-pokok pendekatan
paradigmatik adalah:
1.
Sosiologi hukum bertugas untuk
mempelajari dan mengkritik paradigma-paradigma yang ada yang menjadi pedoman
kalangan profesi hukum dan norma-norma hukum yang menjadi dasar sistem hukum
masyarakat.
2.
Mempelajari kenyataan hukum,
mengidentifikasikan perbedaan antara kenyataan dengan paradigma yang berlaku
dan mengajukan rekomendasi untuk mengadakan perubahan pada perilaku atau norma.
3.
Mengajukan paradigma-paradigma
yang baru.
Sosiologi
hukum merupakan ilmu yang menganggap hukum bukan hanya sisi normatif semata
tapi merupakan sekumpulan fakta empiris, sesuatu yang nyata dalam masyarakat,
yang ditinjau dari berbagai sisi sampai terdapat keseimbangan informasi
terhadap fenomena sosial tentang hukum.
Dengan alur
pemikiran seperti ini, maka dalam menghadapi kasus hukum sebagai suatu penomena
membawa perubahan pada cara pandang kita dalam melihat hukum, tidak hanya pada
dunia pasal-pasal yang terdapat dalam perundang-undangan, dunia abstrak, dunia
yang dicita-citakan semata, dunia yang seharusnya tetapi dunia yang utuh yaitu
dunia yang mengisahkan pergulatan hukum dalam dunia rimba raya, dunia yang
tidak ada ujung pangkalnya.[2]
B.
Pendekatan
Normatif
Sebuah
pendekatan yang dilakukan oleh para pakar sosiologi hukum dalam menelaah suatu
peristiwa yang terjadi dimasyarakat dengan kata lain bahwa pendekatan normatif
juga mempunyai sisi lain, yaitu tampak kenyataannya, yang dimaksud dengan
tampak kenyataannya disini adalah bukan kenyataan dalam bentuk pasal
undang-undang, melainkan sebagaimana hukum itu dijalankan sehari-harinya.
Apabila kita mencoba untuk mengamati dan mempelajari hukum dalam tampaknya yang
demikian itu, maka kita harus keluar dari batas-batas peraturan hukum dan mengamati praktek hukum
atau hukum sebagaimana dijalankan oleh orang-orang dalam masyarakat.[3]
Menurut
pandangan saya pendekatan normatif juga dapat disebut dengan pendekatan atau pandangan
positivistik karena merupakan sebuah model pemikiran yang mendominasi
pengkajian-pengkajian terhadap hukum di abad pertengahan. Di mana pada
abad-abad ini, ilmu hukum banyak memusatkan perhatiannya pada penelaahan
mengenai tertib logis dari tatanan peraturan yang berlaku. Ia juga banyak
menaruh minat pada pemahaman dan pendefinisian istilah-istilah yang dipakai
dalam tatanan tersebut.
Adanya
pandangan positivistik tentang hukum ini, mencari sandarannya pada toeri
pragmatik tentang kebenaran, yang menyatakan suatu teori adalah benar, jika
teori itu berfungsi secara memuaskan. Hal ini akan ditentukan berdasarkan
persetujuan dari kelompok orang-orang terhadap siapa teori itu ditujukan.
Jika teori itu di kalangan orang-orang itu memperoleh cukup persetujuan, maka
teori itu akan dianggap benar.
Inti di
dalam ilmu menurut pandangan ini adalah hubungan antara subyek dengan subyek.
Teori yang berhasil memperoleh persetujuan yang cukup, menghasilkan sebagai
akibatnya pengetahuan inter-subjektif. Ilmuannya bekerja dari suatu perspektif
internal, artinya bahwa ia mendekati gejala-gejala yang hendak dipelajarinya
sebagai soerang partisipan, yang langsung terkait pada gejala yang dipelajari,
yang kedalamnya ia sesungguhnya terlibat.
Ada sebuah
penelitian yang dialakukan di Pulau Sabu, Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur.
Beliau mengatakan bahwa fakta itu tidak akan diketahui dengan jelas apabila
kita hanya mengamati ajaran-ajaran atau rumusan-rumusan yang resmi atau formal.
Untuk itu pembahasan yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan analisis
budaya. Maksudnya bahwa upaya untuk masuk kedalam dunia konseptual kelompok
manusia tertentu. Ia berusaha untuk memahami nilai-nilai, konsep-konsep dan
gagasan-gagasan melalui mana dan dengan apa sekelompok manusia itu hidup, serta
memahami, baik pengalaman-pengalamannya sendiri maupun dunia dimana mereka
hidup. Dengan menggunakan analisis budaya, bukan saja sekalian persoalan dapat
terekam baik, tapi juga dapat menguak ‘logika’ dibalik persoalan itu.[4]Jelaslah
pendekatan ini berusaha memahami suatu objek, tidak melalui kacamata “orang
luar”, tapi “dari dalam” tidak secara “gebyah uyah” memahami secara umum saja,
tapi menghormati kekhususan dan kunikannya.
Seringkali
dikatakan orang, bahwa penelitian hukum bukanlah penelitian ilmiah, karena
hukum merupakan suatu gejala yang bersifat normatif. Artinya, hukum telah
menjadi kaidah-kaidah yang mengatur tingkah laku manusia di dalam pergaulan
hidup, sehingga sebelumnya ada hipotesis bahwa hukum itu benar. Padahal
penelitian bertujuan untuk menggali kebenaran, sedangkan hukum sudah merupakan
kaidah-kaidah tentang tingkah laku yang benar. Ada pula yang menyatakan
pendapat bahwa penelitian hukum merupakan usaha yang telah diawali dengan suatu
penilaian, oleh karena hukum pada hakikatnya berisikan penilaian-penilaian
terhadap tingkah laku manusia.
Pertama-tama
dapat dikemukakan, bahwa penelitian dengan masalah pertama sebagaimana
disebutkan oleh Karl Llewellyn dan E. Adamson Hoebel bertujuan untuk menyoroti
kaidah-kaidah ideal yang dianggap merupakan pencerminan dari hukum. Tujuannya adalah untuk mengadakan
sistematik atau semacam kompilasi dari kaidah-kaidah yang tergali dari
penelitian tersebut. Yang dicari adalah kaidah-kaidah yang telah mantap, tanpa
meneliti apakah mungkin terjadi penyimpangan terhadap kaidah-kaidah tersebut.
Pendekatan ideologis ini menghasilkan abstraksi-abstraksi dengan akibat
kemungkinan besar yang dijumpai adalah kaidah-kaidah yang ideal yang di dalam
kenyataan kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan, kecuali apabila terjadi
pelanggaran yang sangat serius.[5]
Pandangan
normatif ini mendapat dasar pembenarnya pada model ilmu ideal menurut
Hermeneutik. Penafsiran hermeunetik merupakan metode penafsiran yang
berupaya memperoleh pengertian suatu makna teks dalam konteks historis dan
linguistik. Tidak ada pengertian atas suatu teks yang diperoleh di luar konteks
sejarah dan bahasa suatu masyarakat. Sejarah berarti pula akumulasi tradisi
yang pengertiannya dapat diperoleh melalui bahasa sebagai mediasi antara masa
lalu dengan masa kini. Dengan demikian, hermeneutik menghubungkan pemahaman
sejarah dengan tradisi yang berkembang dari dalam suatu teks peraturan
perundang-undangan.
Menurut
Hermeneutikus yang dipelopori oleh Wihelm Dilthey, ilmuan membangun teori-teori
ilmiahnya sebagai partisipan pada gejala-gejala. Pendekatan eksternal tidaklah
mungkin, karena gejala-gejala yang dipelajari tidak dapat dibawa kembali kepada
fakta-fakta yang harus diuji secara empiris.
Relasi inti
dalam ilmu-ilmu, menurut Hermeneutikus adalah relasi subyek-subyek. Dalam ilmu
ini berkenaan dengan konfrontasi pandangan-pandangan dari subyek-subyek yang
tentang masalah-masalah yang sama memiliki sesuatu untuk dikatakan
(mempunyai pandangan/pendapat untuk diajukan). Dalam diskusi itu para peserta,
masing-masing berdasarkan latar belakangnya sendiri, berusaha mencapai suatu
titik berdiri yang sama (terjadi perbauran cakrawala). Demikianlah dalam
jangka waktu yang panjang, dalam ilmu-ilmu itu terbentuk tradisi yang di
dalamnya diskusi tentang berbagai tematik selalu ditampung dan diolah.
Di Indonesia
pemikiran tentang hukum berdasarkan pendekatan normatif ini banyak menyita
perhatian. Hal ini dapat dilihat dalam susunan kurikulum fakultas hukum yang
untuk sebagi besarnya diarahkan kepada penempaan keahlian untuk memahami dan
memakaikan peraturan-peraturan yang berlaku. Hal ini bukanlah suatu keadaan
yang terjadi dengan sendirinya, akan tetapi merupakan suatu tradisi pemikiran
yang diwarisi oleh sejarah.
Sebagaimana
diungkapkan oleh oleh Sartono Kartodirdjo, dibukanya sekolah-sekolah bagi penduduk
pribumi, pada masa pemerintahan Hindia Belanda, didasarkan pada adanya
kebutuhan akan tenaga, baik dalam bidang administrasi maupun dalam berbagai
bidang teknik dan kejuruan. Demikian pula dalam bidang hukum, dibentuknya
pendidkan tinggi hukum sebagai suatu lembaga pendidikan yang lahir di bawah
semanagt politik etik pada masa pemerintahan Hinda Belanda dahulu (yang bermula
dengan didirikannya Opleidingsschool/rechtsschool (pendidikan keahlian
hukum) pada tahun 1909, untuk kemudian dirubah menjadi rechthoogeschool
(pendidikan hukum setingkat universitas) pada tahun 1924, menurut
Soetandyo, dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga-tenaga terdidik guna mengisi
jabatan-jabatan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman landaard.
Oleh karena
itulah ilmu hukum yang diberikan pada pendidikan tinggi hukum waktu
itu pada hakekatnya merupakan ilmu peradilan. Dalam mempelajari hukum
para pelajar menempatkan diri sebagai hakim dan menggunakan kacamata hakim. Ini
menunjukan cara kerja peradilan yang mempunyai ciri-ciri menghadapi
peristiwa-peristiwa individual (kasus), mencari hukumnya dengan penemuan hukum
dan kemudian menerapkannya untuk menyelesaikan suatu konflik. Hal ini
hanya bisa dilakukan apabila mereka mempergunakan optik preskriptif.
Ilmu hukum
yang demikian diperlukan, karena bagi para pekerja hukum dituntut adanya
kemampuan untuk memberikan penyelesaian persoalan-persoalan dengan menggunakan
dasar peraturan hukum. Para pekerja hukum ini adalah orang-orang yang
sehari-harinya harus melakukan problem solution serta decision
making.
Untuk dapat
melakukan tugas itu dengan baik, tentunya mereka harus memihak dengan hukum
positif, yaitu menerima bahwa hukum positif itu adalah peraturan yang harus
dijalankan, yang harus ditaati. Ini merupakan suatu attached-concern
terhadap hukum positif. Hal ini dilengkapi dengan suatu pandangan yang
memandang hukum sebagai suatu sistem yang otonom-logis-konsisten. Hal ini
diperlukan agar mereka terampil dalam menafsirkan dan menerapkan
peraturan-peraturan hukum.
Adanya
tujuan pendidikan tinggi seperti terungkap di atas tidak dapat dilepaskan dari
masalah-masalah yang dihadapi oleh pemerintah Hindia Belanda, hal mana sedikit
banyak menyangkut politik pemerintahan.Pada saat itu sebagaimana yang
diungkapkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, timbul adanya kebutuhan masyarakat
kolonial akan adanya ahli-ahli yang hanya dapat mempertahankan tertib hukum
yang ada, sehingga kepada para sarjana hukum tidak dituntut untuk mengetahui
seluk beluk hukum lebih daripada arti dari peraturan-peraturan hukum itu. Hal
ini sejalan dengan tugas ilmu hukum yang hanya mempertahankan keadaan status
quo.
Pengajaran
hukum yang demikian, menurut Schyut lebih mempersiapkan orang untuk
memenuhi peranan juridisnya, bukan mengarahkan mereka agar dapat memenuhi
peranan sosialnya. Disamping itu dengan pengajaran yang menekankan pada studi
teknis dalam penggarapan hukum positif, akan mendorong para mahasiswa semakin
jauh kedalam dunia yang menyendiri yang bersifat mendetail. Dengan demikian
akan terjadi proses keterasingan dari masyarakat dan problem-problemnya,
sehingga yang dihasilkan bukan hanya tukang-tukang dan montir-montir dari mesin
hukum, melainkan sarjana yang tidak mampu secara kreatif menempatkan sistem
hukumnya dalam lingkungan masyarakat.
C. Pendekatan Sosiologis
Tahap
selanjutnya adalah tahap mengenai pendekatan sosiologis yang itu akan tercapai apabila para sosiolog
tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian
pada ruang lingkup yang yang lebih luas. Pada tahap itu, seorang sosiolog harus
siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moralnya
dan untuk menjelaskan peran ilmu sosial dalam menciptakan masyarakat yang
didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan.
Menurut Philip Seznick, legalitas merupakan sinonim dari rule of law. Rule
of law adalah pembatasan dari kekuasaan resmi oleh prinsip-prinsip rasional
dari ketertiban sipil (civil order). Apabila hal demikian ada, maka tidak ada
sesuatu kekuasaan yang kebal terhadap kritik dan pembatasan kewenangan.
Legalitas menimbulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai suatu
tujuan.[6]
Masyarakat
Indonesia pada dewasa ini sedang berada dalam arus perubahan yang terjadi
secara cepat dan cukup mendasar. Terjadinya perubahan dari masyarakat yang
semula berbasis agraris menuju masyarakat industri, tentunya akan selalu
diikuti oleh penyesuain pada segi kehidupan hukumnya, baik itu berupa hukum
positifnya maupun penyesuaian di bidang paradigmatif, landasan filosofis, teori
dan konsepsi serta pengertian-pengertian.
Dalam abad
20 ini susunan masyarakat menjadi semakin kompleks, spesialisasi dan pemencaran
bidang-bidang dalam masyarakat semakin intensif berkembang dan maju. Dengan
demikian pengaturan yang dilakukan oleh hukum juga harus mengikuti perkembangan
keadaan yang demikian. Pendekatan sosiologis
yang focal concern-nya hukum dan tindakan sosial, dimana
validitas hukumnya adalah konsekuensi-konsekuensi hukum bagi masyarakat.[7]
Pada sisi
lainnya pendekatan sosiologis juga dapat dikatakan dengan teori strukturalisme
yang lebih banyak membahas tentang “struktur linguistik”. Meskipun begitu
pengertian struktur dalam teori fungsional struktural dengan yang ada dalam
teori strukturalisme sering dipertukarkan, karena dalam perkembangannya, paham
strukturalisme juga mengembangkan analisis struktur bahasa ke analisis struktur
masyarakat. Sehingga sampai ada yang memberikan pengertian kepada paham
strukturalisme sebagai “any approach which regards social structure
(apparent or otherwise) as having priority over social actions” (Jhon Scott,
al., 2009: 738). Strukturalisme sebagai pendekatan yang memandang struktur
sosial (yang nyata atau yang tersembunyi) lebih memilih prioritas dari aksi
sosial.[8]
Sejalan
dengan itu mulai muncullah tuntutan-tuntutan agar hukum dapat dipakai sebagai
alat untuk melakukan perubahan-perubahan atau pengarahan-pengarahan sesuai
dengan politik pembangunan negara. Dengan demikian persoalan hukum
sekarang ini bukannya lagi persoalan tentang legalitas formal, tentang
penafsirannya serta penerapan pasal-pasal undang-undang secara semestinya,
melainkan bergerak kearah penggunaan hukum secara sadar sebagai sarana untuk
turut menyusun tata kehidupan baru. Ia tidak dapat lagi memandang hukum
hanya sebagai suatu sistem logik dan konsisten, yang terpisah dari lingkungan
sosialnya, akan tetapi harus melihat hukum sebagai suatu lembaga yang selalu
terkait kepada tatanan masyarakatnya, ia selalu dituntut untuk lebih memberi
perhatian perkaitan antara hukum dengan kenyataan-kenyataan sosial yang hidup.
Sebagai
konsekuensinya maka para sarjana hukum pun dituntut untuk memahirkan diri dalam
segala segi kehidupan sosial serta temponya, yang berarti pula, bahwa ia
hendaknya memahirkan diri dalam ilmu-ilmu yang menggarap masalah-masalah itu,
satu diantaranya ilmu sosial. Pada titik inilah mulai mengedepan
pandangan-pandangan sosiologis terhadap hukum.
Pendekatan
sosiologis ini mendasarkan pada Pandangan positivistik yang berpegang teguh
pada toeri korespondensi tentang kebenaran. Menurut teori ini, kebenaran
itu adalah kesamaan antara teori dan dunia kenyataan. Itu berarti bahwa
hubungan sentral di dalam ilmu adalah hubungan antara subyek (ilmuan) dan objek
(dunia kenyataan). Teori yang berhasil berkorespondensi dengan dunia kenyataan
menghasilkan pengetahuan objektif sebagai produknya. Ilmuannya bekerja dari
suatu perspektif eksternal, artinya ia mendekati dunia kenyataan sebagai
soerang pengamat yang meregistrasi apa yang dilihatnya. Yang tidak
memenuhi kriteria tersebut tidak dapat dikatakan sebagai ilmu hukum, melainkan
hanya sebagai keahlian hukum terdidik, atau kemahiran hukum terdidik.
Pemahaman
hukum baik dikalangan mahasiswa ataupun masyarakat akan lebih komprehensif dan objektif, jika
memperhatikan latar belakang kelahiran sosio-historis hukum itu sendiri.
Masyarakat memiliki ekspresi dan karakteristik hukum sendiri sesuai dengan
tingkat perkembangan masyarakatnya. Dengan kata lain, dinamika dan perkembangan
dalam masyarakat akan sangat mempengaruhi bagaimana karakteristik dan sifat
hukum lahir dan diberlakukan.[9]
Pandangan
positivistik sebagaimana terungkap diatas mendapatkan sandaran pembenarnya pada
model ilmu ideal menurut : Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal. Menurut
ajaran ilmu atomisme logikal yang dikembangkan oleh Bertrand Russell dan Ludwig
Wittgenstein ini, pengetahuan dapat dikatakan ilmiah, jika pengetahuan itu
memberikan gambaran yang persis dari kenyataan yang dapat diamati. Hal itu
hanya dapat terjadi jika pengetahuan itu secara langsung dapat dikembalikan
pada unsur-unsur yang tertangkap dalam pengamatan yang pasti tidak diragukan
lagi.
Untuk itu
orang harus mengembalikan kenyataan sampai pada unsur-unsur dasar (yang disebut
fakta-fakta atomair) yang menjadi objek dari penyadaran langsung. Dengan
demikian pengetahuan sangan bersifat empiris. Apa yang tidak dapat diamati
(secara indrawi) seperti misalnya kaidah hukum dan semua yang bersifat normatif
tidak dapat diketahui. Semua putusan yang dibuat demikian adalah
subjektif dan tidak dapat disebut sebagai kebenaran; mereka lebih bertumpu pada
spekulasi.
Dua syarat
terpenting yang harus dipenuhi oleh suatu putusan ilmiah adalah :
1. putusan tersebut harus bertumpu pada penyadaran langsung
terhadap fakta-fakta atomair dalam kenyataan;
2. keseluruhan putusan-putusan ilmiah itu harus cocok yang satu
dengan yang lainnya secara konsisten logikal. Ini merupakan syarat yang harus
dipenuhi oleh suatu teori ilmiah yang ideal.
Sedangkan
ajaran positivisme logikal yang dikembangkan oleh Rudolf Carnap dan Moritz
Schlick, berpegang teguh pada sifat empiris dari pengatahuan ilmiah.
Menurut
mereka, pengetahuan yang lain adalah tidak obyektif. Untuk menguji kebenaran
mereka mendasarkan pada kriterium asas verifikasi, yang menyatakan bahwa hanya
putusan-putusan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris saja yang dapat
dianggap benar, artinya yang dapat diuji dengan kenyataan yang dapat diamaati secara
indrawi.
Jika orang
menguji suatu putusan ilmiah dan hasilnya putusan tersebut sesuai dengan
kenyataan, maka putusan itu sudah diverifikasi, artinya kebenarannya sudah
dikuatkan
Metode
induksi sesuai dengan kedua pandangan tersebut, karena mereka mengajukan bahwa
penggambaran fakta-fakta atomair atau yang dapat diamati pada tataran yang
lebih umum dengan menggunakan suatu bahasa yang konsisten logikal
dikonstruksikan menjadi teori ilmiah.
Metode
empiris mereka, adalah satu-satunya metode yang dapat menghasilkan pengetahuan
ilmiah. sedangkan metode-metode lainnya menghasilkan pengetahuan
subjektif dan spekulatif, sebab hanya metode empirislah yang memungkinkan orang
lain dengan cara objektif dan sangat persis menguji hasil-hasil ilmiah yang
ditemukan.
Pendekatan
sosiologis terhadap hukum ini mulai muncul ke permukaan seiring dengan adanya
tuntutan agar ilmu hukum dapat lebih difungsikan untuk memberikan sumbangannya
di dalam masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan.
Pendekatan
ini mulai diperlukan apabila kita telah mulai melihat hukum bukan semata-mata
sebagai suatu lembaga yang otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu
lembaga yang bekerja untuk dan dalam masyarakat. Dalam hal ini menurut
Satjipto Rahardjo, minat kita terutama tertarik kepada dua hal, yaitu :
1.
Proses-proses hukum tidak dilihat
sebagai suatu peristiwa yang mengalami suatu insulasi, melainkan, ia kita lihat
sebagai proses terwujudnya tujuan-tujuan sosial yang lebih besar. Dengan
demikian yang tengah berlangsung di situ adalah juga suatu proses interchange
dari kekuatan-kekuatan serta sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat;
2.
Tempat hukum di dalam masyarakat,
yaitu fungsi apakah yang dijalankan oleh hukum.
Hal ini
tentu memerlukan adanya peralihan dan perubahan pandangan kearah sudut yang
lebih mendekati ilmu-ilmu sosial. Hukum yang semula hanya berorientasi kepada
hal-hal yang praktis dan penyelesaian-penyelesaian sengketa atas dasar
norma-norma yang diasumsikan mempunyai keabsahan mutlak untuk berbuat demikan
itu, sekarang harus memalingkan diri pada dasar-dasar pemikiran yang lebih luas
kepada penyusunan teori-teori atas dasar kenyataan-kenyataan sosial yang
dihadapi.
Didalam
kerangka akademis, penyajian sosiologi hukum dimaksudkan sebagi usaha untuk
memungkinkan pembentukan teori-teori hukum yang sosiologis sifatnya. Artinya,
suatu usaha untuk merelatifkan dogmatik hukum, menurut jalan pikiran yang
yuridis-tradisional, yang lebih-lebih melihat serta menelaah hukum sebagai
kedaan daripada hukum sebagai suatu proses.
Sosiologi
hukum merupakan ilmu nomogratifs yang tugasnya adalah melakukan pencatatan dan
penilaian mengenai hal-hal yang terjadi dalam dunia empirik serta kemudian
berusaha memberikan penjelasannya, hal ini sangat berarti bagi dunia praksis,
khususnya untuk membantu pengambilan keputusan yang berkualitas, baik dalam
pembuatan undang-undang maupun dalam penegakan hukum
Hal ini
dimungkinkan karena sosiologi hukum mempergunakan optik deskriptif. Pandangan
yang demikian tidak dimasudkan untuk memberikan suatu pedoman atau petunjuk
tingkah laku konkrit kepada anggota masyarakat, melainkan hanyalah untuk
memberikan penjelasan, mengenai seluk beluk kedudukan dan bekerjanya hukum
didalam masyarakat. Untuk itu pertama-tama ia tidak bersikap memihak terhadap
hukum positif, ia menggunakan detached-concern. Bila ia
berhadapan dengan hukum positif, maka itu diterimanya sebagai suatu kenyataan,
diantara berbagai macam kenyataan yang terdapat di dalam masyarakat.
Dengan
digunakannya pendekatan yang demikian maka diharapkan akan tercipta
sarjana-sarjana hukum yang mampu secara kreatif menempatkan sistem hukumnya
dalam lingkungan masyarakat masing-masing.
BAB III
KESIMPULAN
Pada
dasarnya pendekatan teoritis, pendekatan normatif dan pendekatan sosiologi
terhadap hukum, mempunyai perbedaan-perbedaan yang tidak bersumber pada suatu
pertentangan, akan tetapi oleh karena kadar referensinya yang berbeda. Hal
tersebut terutama disebabkan, oleh karena referensi soerang yuris adalah
kaidah, sedangkan seorang sosiolog bertujuan untuk membuat pernyataan umum atau
membentuk teori tentang kenyataan dengan maksud untuk memperjelas kenyataan
tersebut. Referensi seorang sosiolog memberikan petunjuk bagaimana
meninjau gejala yang sama dengan cara yang berbeda dan untuk kemudian
menggambarkannya dengan suatu perumusan yang berbeda pula.
Pemisahan
yang tegas antara pendekatan teoritis, normatif dan sosiologis terhadap hukum,
tidaklah perlu terjadi, apabila disadari bahwa ke dua segi tersebut merupakan
bagian dari kesatuan dan masing- masing mempunyai perannya sendiri dalam
pengkajian hukum.
Dengan
demikian yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah adakah kemungkinan penyerasian
ketiga pendekatan tersebut demi terciptanya ilmu hukum yang lebih baik di masa
mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Zainuddin. Sosiologi Hukum. Cet. VII; Jakarta: Sinar Grafika. 2012.
Saifullah, Refleksi Sosiologi
Hukum. Cet.III, Bandung: PT Refika Aditama. 2007.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Cet.VI; Bandung: PT Citra
Aditya Bakti. 2006.
Sholehudin, Umar.
Hukum dan Keadilan Masyarakat Persepektif Sosiologi Hukum. Cet. 1;
Malang: Setara Press. 2011
Tanya, Bernard L. Hukum dalam Ruang Sosial. Cet.I; Surabaya:
Srikandi. 2006.
Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Edisi 1.
(Cet. 23; Jakarta: Rajawali Pers. 2014.
Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum
(Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Vol.1, Edisi. 1,
Cet. II; Jakarta: Kencana. 2009.
Fuady, Munir. Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum.
Edisi.I. Cet.I; Jakarta: Kencana. 2011.
[1] Zainuddin Ali,
Sosiologi Hukum, (Cet. VII, Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 5
[2] Saifullah, Refleksi
Sosiologi Hukum, (Cet.III, Bandung: PT Refika Aditama), h. 4
[3] Satjipto
Rahardjo, Ilmu Hukum, (Cet.VI; Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h.
332
[4]
Bernard L.
Tanya, Hukum dalam Ruang Sosial, (Cet.I; Surabaya: Srikandi, 2006), h.
49
[5] Soerjono
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Edisi 1, (Cet. 23; Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), h. 159
[6] Zainuddin Ali,
Sosiologi Hukum, h. 9
[7] Achmad Ali, Menguak
Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Vol.1,
Edisi. 1, (Cet. II, Jakarta: Kencana, 2009), h. 176
[8] Munir Fuady, Teori-Teori
Dalam Sosiologi Hukum, Edisi.I, (Cet.I; Jakarta: Kencana, 2011), h. 117
[9] Umar
Sholehudin, Hukum dan Keadilan Masyarakat Persepektif Sosiologi Hukum,
(Cet. 1; Malang: Setara Press, 2011), h. 30
Tidak ada komentar:
Posting Komentar