Senin, 16 Maret 2015

metode pendekatan dalam mempelajari sosiologi hukum


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ilmu hukum sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang meneliti gejala hukum dalam masyarakat telah berlangsung selama berabad-abad. Di dalam penelitiannya terhadap bidang kehidupan hukum selama berabad-abad ini, ilmu hukum telah berkembang menjadi suatu jaringan dari berbagai spesialisasi yang dinamakan hukum pidana, hukum perdata, hukum tata negara, hukum internasional, dan seterusnya. Dalam keadaan seperti demikian ternyata masih diperlukannya ilmu pengetahuan yang meneliti bidang hukum disamping ilmu hukum, yakni yang disebut dengan sosiologi hukum. Akan tetapi di dalam kenyataannya, sering terdengar adanya kekecewaan dari sebagian orang, tentang kegagalan dari ahli-ahli hukum dan hukum untuk memainkan peran yang lebih aktif dan memberikan arti lebih positif bagi proses pembangunan. 
Dalam kalimat yang lebih vulgar, Satjipto Rahardjo  mengungkapkn bahwa, telah terjadi kemandulan dari hukum dan ilmu hukum yang  ada di Indonesia.Terjadinya keadaan yang demikian, menurut Satjipto Rahardjo,  hal ini dikarenakan hukum yang berkembang di Indonesia sampai dengan dasawarsa 1980-an dinilai tidak mendukung arah perubahan masyarakat dan dengan demikian juga tidak membantu berhasilnya usaha-usaha produktif yang sedang dijalankan masyarakat. sedangkan ilmu hukumnya pun hanya mendasarkan pada konsep-konsep mengenai dan metode pendekatan terhadap hukum yang tidak peka terhadap perkembangan, perubahan dan proses sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.
Pada saat itu para ahli hukumnya lebih banyak dipandang sebagai tukang-tukang dan montir-montir dari mesin hukum, yang terasing dari masyarakat dan problem-problemnya dan tidak mempunyai daya kreatif untuk menempatkan sistem hukumnya dalam lingkungan masyarakat masing-masing.
B.       Rumusan Masalah
1.    Apa saja metode pendekatan yang digunakan dalam mempelajari sosiologi hukum?
2.    Bagaimana cara penerapan metode pendekatan yang digunakan dalam mempelajari sosiologi hukum terhadap masyarakat?
C. Tujuan
1.      Untuk memberikan pengetahuan tentang metode apa sajakah yang digunakan dalam mempelajari sosiologi hukum.
2.      Untuk memberikan pemahaman dalam penerapan metode yang digunakan dalam mempelajari sosiologi hukum.











BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pendekatan Teoritis
Pendekatan ini menekankan pada sebuah instrumen yang ada pada kajian sosiologi hukum melalui berbagai macam penalaran dan logika yang itu hanya bisa diterima dengan akal saja. Adam podgorecki pernah menyatakan seperti yang dikutip oleh Soerjono, bahwa sosiologi hukum merupakan suatu disiplin ilmu teoritis yang umumnya mempelajari keteraturan dari berfungsinya hukum. Tujuan disiplin ilmu itu adalah untuk mendapatkan prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang disadari secara rasional dan didasarkan pada dogmatisme yang mempunyai dasar yang akurat. Oleh karena itu tujuan dari sosiologi hukum adalah untuk menyajikan sebanyak-banyaknya kondisi yang diperlukan agar hukum dapat berlaku secara efisien.[1]
Menurut Thomas S.Khun, yang menyebut sebagai paradigma dominan dengan kata lain bahwa dapat disebut juga dengan pendekatan teoritis, mencakup unsur-unsur kepercayaan, nilai-nilai, aturan-aturan, cara-cara dan dugaan-dugaan yang dipunyai warga masyarakat tertentu. Oleh karena itu pokok-pokok pendekatan paradigmatik adalah:
1.      Sosiologi hukum bertugas untuk mempelajari dan mengkritik paradigma-paradigma yang ada yang menjadi pedoman kalangan profesi hukum dan norma-norma hukum yang menjadi dasar sistem hukum masyarakat.
2.      Mempelajari kenyataan hukum, mengidentifikasikan perbedaan antara kenyataan dengan paradigma yang berlaku dan mengajukan rekomendasi untuk mengadakan perubahan pada perilaku atau norma.
3.      Mengajukan paradigma-paradigma yang baru.
Sosiologi hukum merupakan ilmu yang menganggap hukum bukan hanya sisi normatif semata tapi merupakan sekumpulan fakta empiris, sesuatu yang nyata dalam masyarakat, yang ditinjau dari berbagai sisi sampai terdapat keseimbangan informasi terhadap fenomena sosial tentang hukum.
Dengan alur pemikiran seperti ini, maka dalam menghadapi kasus hukum sebagai suatu penomena membawa perubahan pada cara pandang kita dalam melihat hukum, tidak hanya pada dunia pasal-pasal yang terdapat dalam perundang-undangan, dunia abstrak, dunia yang dicita-citakan semata, dunia yang seharusnya tetapi dunia yang utuh yaitu dunia yang mengisahkan pergulatan hukum dalam dunia rimba raya, dunia yang tidak ada ujung pangkalnya.[2]
B.     Pendekatan Normatif
Sebuah pendekatan yang dilakukan oleh para pakar sosiologi hukum dalam menelaah suatu peristiwa yang terjadi dimasyarakat dengan kata lain bahwa pendekatan normatif juga mempunyai sisi lain, yaitu tampak kenyataannya, yang dimaksud dengan tampak kenyataannya disini adalah bukan kenyataan dalam bentuk pasal undang-undang, melainkan sebagaimana hukum itu dijalankan sehari-harinya. Apabila kita mencoba untuk mengamati dan mempelajari hukum dalam tampaknya yang demikian itu, maka kita harus keluar dari batas-batas  peraturan hukum dan mengamati praktek hukum atau hukum sebagaimana dijalankan oleh orang-orang dalam masyarakat.[3]
Menurut pandangan saya pendekatan normatif juga dapat disebut dengan pendekatan atau pandangan positivistik karena merupakan sebuah model pemikiran yang mendominasi pengkajian-pengkajian terhadap hukum di abad pertengahan. Di mana pada abad-abad ini, ilmu hukum banyak memusatkan perhatiannya pada penelaahan mengenai tertib logis dari tatanan peraturan yang berlaku. Ia juga banyak menaruh minat pada pemahaman dan pendefinisian istilah-istilah yang dipakai dalam tatanan tersebut.
Adanya pandangan positivistik tentang hukum ini, mencari sandarannya pada toeri pragmatik tentang kebenaran, yang menyatakan suatu teori adalah benar, jika teori itu berfungsi secara memuaskan.  Hal ini akan ditentukan berdasarkan persetujuan dari kelompok orang-orang terhadap siapa teori itu ditujukan.  Jika teori itu di kalangan orang-orang itu memperoleh cukup persetujuan, maka teori itu akan dianggap benar.
Inti di dalam ilmu menurut pandangan ini adalah hubungan antara subyek dengan subyek. Teori yang berhasil memperoleh persetujuan yang cukup, menghasilkan sebagai akibatnya pengetahuan inter-subjektif. Ilmuannya bekerja dari suatu perspektif internal, artinya bahwa ia mendekati gejala-gejala yang hendak dipelajarinya sebagai soerang partisipan, yang langsung terkait pada gejala yang dipelajari, yang kedalamnya ia sesungguhnya terlibat.
Ada sebuah penelitian yang dialakukan di Pulau Sabu, Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur. Beliau mengatakan bahwa fakta itu tidak akan diketahui dengan jelas apabila kita hanya mengamati ajaran-ajaran atau rumusan-rumusan yang resmi atau formal. Untuk itu pembahasan yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan analisis budaya. Maksudnya bahwa upaya untuk masuk kedalam dunia konseptual kelompok manusia tertentu. Ia berusaha untuk memahami nilai-nilai, konsep-konsep dan gagasan-gagasan melalui mana dan dengan apa sekelompok manusia itu hidup, serta memahami, baik pengalaman-pengalamannya sendiri maupun dunia dimana mereka hidup. Dengan menggunakan analisis budaya, bukan saja sekalian persoalan dapat terekam baik, tapi juga dapat menguak ‘logika’ dibalik persoalan itu.[4]Jelaslah pendekatan ini berusaha memahami suatu objek, tidak melalui kacamata “orang luar”, tapi “dari dalam” tidak secara “gebyah uyah” memahami secara umum saja, tapi menghormati kekhususan dan kunikannya.
Seringkali dikatakan orang, bahwa penelitian hukum bukanlah penelitian ilmiah, karena hukum merupakan suatu gejala yang bersifat normatif. Artinya, hukum telah menjadi kaidah-kaidah yang mengatur tingkah laku manusia di dalam pergaulan hidup, sehingga sebelumnya ada hipotesis bahwa hukum itu benar. Padahal penelitian bertujuan untuk menggali kebenaran, sedangkan hukum sudah merupakan kaidah-kaidah tentang tingkah laku yang benar. Ada pula yang menyatakan pendapat bahwa penelitian hukum merupakan usaha yang telah diawali dengan suatu penilaian, oleh karena hukum pada hakikatnya berisikan penilaian-penilaian terhadap tingkah laku manusia.
Pertama-tama dapat dikemukakan, bahwa penelitian dengan masalah pertama sebagaimana disebutkan oleh Karl Llewellyn dan E. Adamson Hoebel bertujuan untuk menyoroti kaidah-kaidah ideal yang dianggap merupakan pencerminan  dari hukum. Tujuannya adalah untuk mengadakan sistematik atau semacam kompilasi dari kaidah-kaidah yang tergali dari penelitian tersebut. Yang dicari adalah kaidah-kaidah yang telah mantap, tanpa meneliti apakah mungkin terjadi penyimpangan terhadap kaidah-kaidah tersebut. Pendekatan ideologis ini menghasilkan abstraksi-abstraksi dengan akibat kemungkinan besar yang dijumpai adalah kaidah-kaidah yang ideal yang di dalam kenyataan kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan, kecuali apabila terjadi pelanggaran yang sangat serius.[5]
Pandangan normatif ini mendapat dasar pembenarnya pada model ilmu ideal menurut Hermeneutik.  Penafsiran hermeunetik merupakan metode penafsiran yang berupaya memperoleh pengertian suatu makna teks dalam konteks historis dan linguistik. Tidak ada pengertian atas suatu teks yang diperoleh di luar konteks sejarah dan bahasa suatu masyarakat. Sejarah berarti pula akumulasi tradisi yang pengertiannya dapat diperoleh melalui bahasa sebagai mediasi antara masa lalu dengan masa kini. Dengan demikian, hermeneutik menghubungkan pemahaman sejarah dengan tradisi yang berkembang dari dalam suatu teks peraturan perundang-undangan.
Menurut Hermeneutikus yang dipelopori oleh Wihelm Dilthey, ilmuan membangun teori-teori ilmiahnya sebagai partisipan pada gejala-gejala. Pendekatan eksternal tidaklah mungkin, karena gejala-gejala yang dipelajari tidak dapat dibawa kembali kepada fakta-fakta yang harus diuji secara empiris.
Relasi inti dalam ilmu-ilmu, menurut Hermeneutikus adalah relasi subyek-subyek. Dalam ilmu ini berkenaan dengan konfrontasi pandangan-pandangan dari subyek-subyek yang tentang masalah-masalah yang sama  memiliki sesuatu untuk dikatakan (mempunyai pandangan/pendapat untuk diajukan). Dalam diskusi itu para peserta, masing-masing berdasarkan latar belakangnya sendiri, berusaha mencapai suatu titik berdiri yang sama (terjadi perbauran cakrawala).  Demikianlah dalam jangka waktu yang panjang, dalam ilmu-ilmu itu terbentuk tradisi yang di dalamnya diskusi tentang berbagai tematik selalu ditampung dan diolah.
Di Indonesia pemikiran tentang hukum berdasarkan pendekatan normatif ini banyak menyita perhatian. Hal ini dapat dilihat dalam susunan kurikulum fakultas hukum yang untuk sebagi besarnya diarahkan kepada penempaan keahlian untuk memahami dan memakaikan peraturan-peraturan yang berlaku. Hal ini bukanlah suatu keadaan yang terjadi dengan sendirinya, akan tetapi merupakan suatu tradisi pemikiran yang diwarisi oleh sejarah.
Sebagaimana diungkapkan oleh oleh Sartono Kartodirdjo, dibukanya sekolah-sekolah bagi penduduk pribumi, pada masa pemerintahan Hindia Belanda,  didasarkan pada adanya kebutuhan akan tenaga, baik dalam bidang administrasi maupun dalam berbagai bidang teknik dan kejuruan. Demikian pula dalam bidang hukum, dibentuknya pendidkan tinggi hukum sebagai suatu lembaga pendidikan yang lahir di bawah semanagt politik etik pada masa pemerintahan Hinda Belanda dahulu (yang bermula dengan didirikannya Opleidingsschool/rechtsschool (pendidikan keahlian hukum) pada tahun 1909, untuk kemudian dirubah menjadi rechthoogeschool (pendidikan hukum setingkat universitas) pada tahun 1924,  menurut Soetandyo, dimaksudkan untuk menyiapkan tenaga-tenaga terdidik guna mengisi jabatan-jabatan dalam lingkungan kekuasaan kehakiman landaard.
Oleh karena itulah  ilmu hukum yang diberikan pada pendidikan tinggi hukum waktu itu  pada hakekatnya merupakan ilmu peradilan. Dalam mempelajari hukum para pelajar menempatkan diri sebagai hakim dan menggunakan kacamata hakim. Ini menunjukan cara kerja peradilan yang mempunyai ciri-ciri menghadapi peristiwa-peristiwa individual (kasus), mencari hukumnya dengan penemuan hukum dan kemudian menerapkannya untuk menyelesaikan suatu konflik.  Hal ini hanya bisa dilakukan apabila mereka mempergunakan optik preskriptif.
Ilmu hukum yang demikian diperlukan, karena bagi para pekerja hukum dituntut adanya kemampuan untuk memberikan penyelesaian persoalan-persoalan dengan menggunakan dasar peraturan hukum. Para pekerja hukum ini adalah orang-orang yang sehari-harinya harus melakukan problem solution serta decision making.
Untuk dapat melakukan tugas itu dengan baik, tentunya mereka harus memihak dengan hukum positif, yaitu menerima bahwa hukum positif itu adalah peraturan yang harus dijalankan, yang harus ditaati. Ini merupakan suatu attached-concern terhadap hukum positif. Hal ini dilengkapi dengan suatu pandangan yang memandang hukum sebagai suatu sistem yang otonom-logis-konsisten.  Hal ini diperlukan agar mereka terampil dalam menafsirkan dan menerapkan peraturan-peraturan hukum.
Adanya tujuan pendidikan tinggi seperti terungkap di atas tidak dapat dilepaskan dari masalah-masalah yang dihadapi oleh pemerintah Hindia Belanda, hal mana sedikit banyak menyangkut politik pemerintahan.Pada saat itu sebagaimana yang diungkapkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, timbul adanya kebutuhan masyarakat kolonial akan adanya ahli-ahli yang hanya dapat mempertahankan tertib hukum yang ada, sehingga kepada para sarjana hukum tidak dituntut untuk mengetahui seluk beluk hukum lebih daripada arti dari peraturan-peraturan hukum itu. Hal ini sejalan dengan tugas ilmu hukum yang hanya mempertahankan keadaan status quo.
Pengajaran hukum yang demikian, menurut Schyut lebih mempersiapkan  orang untuk memenuhi peranan juridisnya, bukan mengarahkan mereka agar dapat memenuhi peranan sosialnya. Disamping itu dengan pengajaran yang menekankan pada studi teknis dalam penggarapan hukum positif, akan mendorong para mahasiswa semakin jauh kedalam dunia yang menyendiri yang bersifat mendetail. Dengan demikian akan terjadi proses keterasingan dari masyarakat dan problem-problemnya, sehingga yang dihasilkan bukan hanya tukang-tukang dan montir-montir dari mesin hukum, melainkan sarjana yang tidak mampu secara kreatif menempatkan sistem hukumnya dalam lingkungan masyarakat.
C.    Pendekatan Sosiologis
Tahap selanjutnya adalah tahap mengenai pendekatan sosiologis  yang itu akan tercapai apabila para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak menaruh perhatian pada ruang lingkup yang yang lebih luas. Pada tahap itu, seorang sosiolog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat menentukan wibawa moralnya dan untuk menjelaskan peran ilmu sosial dalam menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan kewajiban yang berorientasi pada keadilan. Menurut Philip Seznick, legalitas merupakan sinonim dari rule of law. Rule of law adalah pembatasan dari kekuasaan resmi oleh prinsip-prinsip rasional dari ketertiban sipil (civil order). Apabila hal demikian ada, maka tidak ada sesuatu kekuasaan yang kebal terhadap kritik dan pembatasan kewenangan. Legalitas menimbulkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mencapai suatu tujuan.[6]
Masyarakat Indonesia pada dewasa ini sedang berada dalam arus perubahan yang terjadi secara cepat dan cukup mendasar. Terjadinya perubahan dari masyarakat yang semula berbasis agraris menuju masyarakat industri, tentunya akan selalu diikuti oleh penyesuain pada segi kehidupan hukumnya, baik itu berupa hukum positifnya maupun penyesuaian di bidang paradigmatif, landasan filosofis, teori dan konsepsi serta pengertian-pengertian.
Dalam abad 20 ini susunan masyarakat menjadi semakin kompleks, spesialisasi dan pemencaran bidang-bidang dalam masyarakat semakin intensif berkembang dan maju. Dengan demikian pengaturan yang dilakukan oleh hukum juga harus mengikuti perkembangan keadaan yang demikian. Pendekatan sosiologis  yang focal concern-nya hukum dan tindakan sosial, dimana validitas hukumnya adalah konsekuensi-konsekuensi hukum bagi masyarakat.[7]
Pada sisi lainnya pendekatan sosiologis juga dapat dikatakan dengan teori strukturalisme yang lebih banyak membahas tentang “struktur linguistik”. Meskipun begitu pengertian struktur dalam teori fungsional struktural dengan yang ada dalam teori strukturalisme sering dipertukarkan, karena dalam perkembangannya, paham strukturalisme juga mengembangkan analisis struktur bahasa ke analisis struktur masyarakat. Sehingga sampai ada yang memberikan pengertian kepada paham strukturalisme sebagai “any approach which regards social structure (apparent or otherwise) as having priority over social actions” (Jhon Scott, al., 2009: 738). Strukturalisme sebagai pendekatan yang memandang struktur sosial (yang nyata atau yang tersembunyi) lebih memilih prioritas dari aksi sosial.[8]
Sejalan dengan itu mulai muncullah tuntutan-tuntutan agar hukum dapat dipakai sebagai alat untuk melakukan perubahan-perubahan atau pengarahan-pengarahan sesuai dengan politik pembangunan negara.  Dengan demikian persoalan hukum sekarang ini bukannya lagi persoalan tentang legalitas formal, tentang penafsirannya serta penerapan pasal-pasal undang-undang secara semestinya, melainkan bergerak kearah penggunaan hukum secara sadar sebagai sarana untuk turut menyusun tata kehidupan baru.  Ia tidak dapat lagi memandang hukum hanya sebagai suatu sistem logik dan konsisten, yang terpisah dari lingkungan sosialnya, akan tetapi harus melihat hukum sebagai suatu lembaga yang selalu terkait kepada tatanan masyarakatnya, ia selalu dituntut untuk lebih memberi perhatian perkaitan antara hukum dengan kenyataan-kenyataan sosial yang hidup.
Sebagai konsekuensinya maka para sarjana hukum pun dituntut untuk memahirkan diri dalam segala segi kehidupan sosial serta temponya, yang berarti pula, bahwa ia hendaknya memahirkan diri dalam ilmu-ilmu yang menggarap masalah-masalah itu, satu diantaranya ilmu sosial. Pada titik inilah mulai mengedepan pandangan-pandangan sosiologis terhadap hukum.
Pendekatan sosiologis ini mendasarkan pada Pandangan positivistik yang berpegang teguh pada toeri korespondensi tentang kebenaran.  Menurut teori ini, kebenaran itu adalah kesamaan antara teori dan dunia kenyataan. Itu berarti bahwa hubungan sentral di dalam ilmu adalah hubungan antara subyek (ilmuan) dan objek (dunia kenyataan). Teori yang berhasil berkorespondensi dengan dunia kenyataan menghasilkan pengetahuan objektif sebagai produknya. Ilmuannya bekerja dari suatu perspektif eksternal, artinya ia mendekati dunia kenyataan  sebagai soerang pengamat yang meregistrasi apa yang dilihatnya.  Yang tidak memenuhi kriteria tersebut tidak dapat dikatakan sebagai ilmu hukum, melainkan hanya sebagai keahlian hukum terdidik, atau kemahiran hukum terdidik.
Pemahaman hukum baik dikalangan mahasiswa ataupun masyarakat  akan lebih komprehensif dan objektif, jika memperhatikan latar belakang kelahiran sosio-historis hukum itu sendiri. Masyarakat memiliki ekspresi dan karakteristik hukum sendiri sesuai dengan tingkat perkembangan masyarakatnya. Dengan kata lain, dinamika dan perkembangan dalam masyarakat akan sangat mempengaruhi bagaimana karakteristik dan sifat hukum lahir dan diberlakukan.[9]
Pandangan positivistik sebagaimana terungkap diatas mendapatkan sandaran pembenarnya pada model ilmu ideal menurut : Atomisme Logikal dan Positivisme Logikal. Menurut ajaran ilmu atomisme logikal yang dikembangkan oleh Bertrand Russell dan Ludwig Wittgenstein ini, pengetahuan dapat dikatakan ilmiah, jika pengetahuan itu memberikan gambaran yang persis dari kenyataan yang dapat diamati. Hal itu hanya dapat terjadi jika pengetahuan itu secara langsung dapat dikembalikan pada unsur-unsur yang tertangkap dalam pengamatan yang pasti tidak diragukan lagi.
Untuk itu orang harus mengembalikan kenyataan sampai pada unsur-unsur dasar (yang disebut fakta-fakta atomair) yang menjadi objek dari penyadaran langsung. Dengan demikian pengetahuan sangan bersifat empiris. Apa yang tidak dapat diamati (secara indrawi) seperti misalnya kaidah hukum dan semua yang bersifat normatif tidak dapat diketahui.  Semua putusan yang dibuat demikian adalah subjektif dan tidak dapat disebut sebagai kebenaran; mereka lebih bertumpu pada spekulasi.
Dua syarat terpenting yang harus dipenuhi oleh suatu putusan ilmiah adalah :
1.      putusan tersebut harus bertumpu pada penyadaran langsung terhadap fakta-fakta atomair dalam kenyataan;
2.      keseluruhan putusan-putusan ilmiah itu harus cocok yang satu dengan yang lainnya secara konsisten logikal. Ini merupakan syarat yang harus dipenuhi oleh suatu teori ilmiah yang ideal.
Sedangkan ajaran positivisme logikal yang dikembangkan oleh Rudolf Carnap dan Moritz Schlick, berpegang teguh pada sifat empiris dari pengatahuan ilmiah.
Menurut mereka, pengetahuan yang lain adalah tidak obyektif. Untuk menguji kebenaran mereka mendasarkan pada kriterium asas verifikasi, yang menyatakan bahwa hanya putusan-putusan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris saja yang dapat dianggap benar, artinya yang dapat diuji dengan kenyataan yang dapat diamaati secara indrawi.
Jika orang menguji suatu putusan ilmiah dan hasilnya putusan tersebut sesuai dengan kenyataan, maka putusan itu sudah diverifikasi, artinya kebenarannya sudah dikuatkan
Metode induksi sesuai dengan kedua pandangan tersebut, karena mereka mengajukan bahwa penggambaran fakta-fakta atomair atau yang dapat diamati pada tataran yang lebih umum dengan menggunakan suatu bahasa yang konsisten logikal dikonstruksikan menjadi teori ilmiah.
Metode empiris mereka, adalah satu-satunya metode yang dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah.  sedangkan metode-metode lainnya menghasilkan pengetahuan subjektif dan spekulatif, sebab hanya metode empirislah yang memungkinkan orang lain dengan cara objektif dan sangat persis menguji hasil-hasil ilmiah yang ditemukan.
Pendekatan sosiologis terhadap hukum ini mulai muncul ke permukaan seiring dengan adanya tuntutan agar ilmu hukum dapat lebih difungsikan untuk memberikan sumbangannya di dalam masyarakat Indonesia yang sedang mengalami perubahan.
Pendekatan ini mulai diperlukan apabila kita telah mulai melihat hukum bukan semata-mata sebagai suatu lembaga yang otonom di dalam masyarakat, melainkan sebagai suatu lembaga yang bekerja untuk dan dalam masyarakat.  Dalam hal ini menurut Satjipto Rahardjo, minat kita terutama tertarik kepada dua hal, yaitu :
1.       Proses-proses hukum tidak dilihat sebagai suatu peristiwa yang mengalami suatu insulasi, melainkan, ia kita lihat sebagai proses terwujudnya tujuan-tujuan sosial yang lebih besar. Dengan demikian yang tengah berlangsung di situ adalah juga suatu proses interchange dari kekuatan-kekuatan serta sektor-sektor kehidupan dalam masyarakat;
2.       Tempat hukum di dalam masyarakat, yaitu fungsi apakah yang dijalankan oleh hukum.
Hal ini tentu memerlukan adanya peralihan dan perubahan pandangan kearah sudut yang lebih mendekati ilmu-ilmu sosial. Hukum yang semula hanya berorientasi kepada hal-hal yang praktis dan penyelesaian-penyelesaian sengketa atas dasar norma-norma yang diasumsikan mempunyai keabsahan mutlak untuk berbuat demikan itu, sekarang harus memalingkan diri pada dasar-dasar pemikiran yang lebih luas kepada penyusunan teori-teori atas dasar kenyataan-kenyataan sosial yang dihadapi.
Didalam kerangka akademis, penyajian sosiologi hukum dimaksudkan sebagi usaha untuk memungkinkan pembentukan teori-teori hukum yang sosiologis sifatnya. Artinya, suatu usaha untuk merelatifkan dogmatik hukum, menurut jalan pikiran yang yuridis-tradisional, yang lebih-lebih melihat serta menelaah hukum sebagai kedaan daripada hukum sebagai suatu proses.
Sosiologi hukum merupakan ilmu nomogratifs yang tugasnya adalah melakukan pencatatan dan penilaian mengenai hal-hal yang terjadi dalam dunia empirik serta kemudian berusaha memberikan penjelasannya, hal ini sangat berarti bagi dunia praksis, khususnya untuk membantu pengambilan keputusan yang berkualitas, baik dalam pembuatan undang-undang maupun dalam penegakan hukum
Hal ini dimungkinkan karena sosiologi hukum mempergunakan optik deskriptif. Pandangan yang demikian tidak dimasudkan untuk memberikan suatu pedoman atau petunjuk tingkah laku konkrit kepada anggota masyarakat, melainkan hanyalah untuk memberikan penjelasan, mengenai seluk beluk kedudukan dan bekerjanya hukum didalam masyarakat. Untuk itu pertama-tama ia tidak bersikap memihak terhadap hukum positif, ia menggunakan detached-concern.  Bila ia berhadapan dengan hukum positif, maka itu diterimanya sebagai suatu kenyataan, diantara berbagai macam kenyataan yang terdapat di dalam masyarakat.
Dengan digunakannya pendekatan yang demikian maka diharapkan akan tercipta sarjana-sarjana hukum yang mampu secara kreatif menempatkan sistem hukumnya dalam lingkungan masyarakat masing-masing.








BAB III
KESIMPULAN
Pada dasarnya pendekatan teoritis, pendekatan normatif dan pendekatan sosiologi terhadap hukum, mempunyai perbedaan-perbedaan yang tidak bersumber pada suatu pertentangan, akan tetapi oleh karena kadar referensinya yang berbeda. Hal tersebut terutama disebabkan, oleh karena referensi soerang yuris adalah kaidah, sedangkan seorang sosiolog bertujuan untuk membuat pernyataan umum atau membentuk teori tentang kenyataan dengan maksud untuk memperjelas kenyataan tersebut.  Referensi seorang sosiolog memberikan petunjuk bagaimana meninjau gejala yang sama  dengan cara yang berbeda dan untuk kemudian menggambarkannya dengan suatu perumusan yang berbeda pula.
Pemisahan yang tegas antara pendekatan teoritis, normatif dan sosiologis terhadap hukum, tidaklah perlu terjadi, apabila disadari bahwa ke dua segi tersebut merupakan bagian dari kesatuan dan masing- masing mempunyai perannya sendiri dalam pengkajian hukum.
Dengan demikian yang perlu ditelaah lebih lanjut adalah adakah kemungkinan penyerasian ketiga pendekatan tersebut demi terciptanya ilmu hukum yang lebih baik di masa mendatang.












DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. Sosiologi Hukum. Cet. VII; Jakarta: Sinar Grafika. 2012.
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum. Cet.III, Bandung: PT Refika Aditama. 2007.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Cet.VI; Bandung: PT Citra Aditya Bakti. 2006.
Sholehudin, Umar. Hukum dan Keadilan Masyarakat Persepektif Sosiologi Hukum. Cet. 1; Malang: Setara Press. 2011
Tanya, Bernard L. Hukum dalam Ruang Sosial. Cet.I; Surabaya: Srikandi. 2006.
Soekanto, Soerjono. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Edisi 1. (Cet. 23; Jakarta: Rajawali Pers. 2014.
Ali, Achmad. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Vol.1, Edisi. 1, Cet. II; Jakarta: Kencana. 2009.
Fuady, Munir.  Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum. Edisi.I. Cet.I; Jakarta: Kencana. 2011.



[1] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, (Cet. VII, Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 5
[2] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Cet.III, Bandung: PT Refika Aditama), h. 4
[3] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Cet.VI; Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 332
[4] Bernard L. Tanya, Hukum dalam Ruang Sosial, (Cet.I; Surabaya: Srikandi, 2006), h. 49
[5] Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Edisi 1, (Cet. 23; Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 159
[6] Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, h. 9
[7] Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Vol.1, Edisi. 1, (Cet. II, Jakarta: Kencana, 2009), h. 176
[8] Munir Fuady, Teori-Teori Dalam Sosiologi Hukum, Edisi.I, (Cet.I; Jakarta: Kencana, 2011), h. 117
[9] Umar Sholehudin, Hukum dan Keadilan Masyarakat Persepektif Sosiologi Hukum, (Cet. 1; Malang: Setara Press, 2011), h. 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar