Senin, 16 Maret 2015

pengertian khofi, musykil, mujmal dan mutasyabih



Lafal dari segi tidak jelas pengertiannya oleh kalangan Hanafiyah menurut Abdul wahab khalaf dibagi menjadi empat tingkatan
     1. Al-Khofi: menurut istilah ulama ushul ialah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan jelas, namun untuk menerapkan arti itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan sesuatu yang  tidak samar dan jelas dan untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir secara mendalam. Maka dengan demikian lafadz itu dianggap samar bila dihubungkan dengan beberapa satuan (afrad) tersebut. Sumber kesamaran ini ialah satuan lafadz itu merupakan sifat tambahan atas satuan-satuan lainnya atau satuan itu mengurangi suatu sifat dari satuan satuan itu atau ia mempunyai nama-nama yang khusus. Maka penambahan, pengurangan atau penamaan yang khusus itu menjadikan lafadz sebagai tempat kesamaran. Lafadz itu samar bila dihubungkan dengan satuan ini, karena diperolehnya lafadz satuan ini tidak dapat dipahami dari keadaan lafadz itu sendiri, bahkan memerlukan faktor dari luar. Contohnya:
Arti pencuri dalam surat al-Maidah ayat 38:
Dalam ayat tersebut secara umum pengertian pencuri cukup jelas, yaitu orang yang mengambil harta orang lain secara sembunyi dari tempat penyimpanan yang layak baginya. Ketidak jelasan timbul ketika menerapkan ayat itu kepada tukang copet yang secara lihai bisa memanfaatkan kelalaian seseorang untuk menguras hartanya apakah termasuk kedalam pengertian pencuri atau tidak? Untuk mencari jawabannya adalah dengan jalan ijtihad, dengan meneliti apakah pengertian itu termasuk ke dalam pengertian ayat sesuai dengan dengan cara suatu lafal menunjukkan suatu pengertian.
2.      2. Al-Musykil: menurut  istilah ulama ushul ialah lafadz  yang bentuknya sendiri tidak menunjukkan pada artinya, namun harus ada petunjuk luar yang menjelaskan apa yang dimaksudknnya. Petunjuk ini dapat ditemukan melalui pembahasan. Kesamaran dalam al-musykil adalah dari lafadznya sendiri, sebab secara bahasa al-musykil itu merupakan objek beberapa arti. Pengertian yang tidak dimaksud tidak dapat dipahami dengan sendirinya atau karena ada kontradiksi pemahaman antara satu nash dengan nash lainnya. Misalnya:
Lafal quru’ (jamak dari qur’un) dalam ayat 228 surat al-baqarah:
Kata quru dalam ayat tersebut dalam pemakaian bahasa arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haid. Imam syafii mengartikannya dengan masa suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haid. Masing-masing mengambil kesimpulan yang berbeda itu didasarkan kepada qarinah atau dalil dari luar yang berbeda pula. Begitulah setiap lafal musykil dalam al-quran dan sunnah, untuk memahaminya memerlukan upaya ijtihad dalam mencari tanda-tanda atau dalil-dalil yang membantu untuk memperjelas pengertiannya.
3.      3. Al-Mujmal: menurut istilah ulama ushul ialah lafadz yang bentuknya tidak dapat menunjukkan pengertian yang dikandung olehnya dan tidak terdapat petunjuk-petunjuk lafadz atau keadaan lafadz yang menjelaskannya, jadi sebab kesamaran dalam al-mujmal ini bersifat lafdzi, bukan sifat yang baru datang. Contohnya: lafal shalat, zakat dan haji dan lain-lain lagi lafal yang bukan dimaksud semata-mata pengertiannya secara bahasa tetapi pengertian khusus menurut syara. Untuk mencari kejelasan pengertiannya, seperti dijelaskan Adib Shalih, bukan dengan jalan ijtihad namun dari pembuat syariat sendiri. Untuk contoh-contoh diatas, sunnah Rasulullah berfungsi untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan istilah-istilah tersebut.
4.    4. Al-Mutasyabih: menurut istilah ulam ushul ialah lafadz yang bentuknya sendiri tidak menunjukkan pada maksudnya dan tidak ada petunjuk luar yang menjelaskannya. Dengan pengertian ini al-mutasyabih tidak terdapat dalam nash-nash syara’ sedikitpun. Contohnya:
Bentuk huruf-huruf terpotong-potong yang biasa terletak di awal surah. Misalnya alif, lam, mim yang terletak di awal surah al-baqarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar