Lafal dari segi tidak jelas pengertiannya oleh kalangan Hanafiyah
menurut Abdul wahab khalaf dibagi menjadi empat tingkatan
1. Al-Khofi:
menurut istilah ulama ushul ialah lafadz yang dapat menunjukkan artinya dengan
jelas, namun untuk menerapkan arti itu kepada satuan-satuan lainnya merupakan
sesuatu yang tidak samar dan jelas dan
untuk menghilangkan kesamaran dan ketidakjelasan itu diperlukan upaya berfikir
secara mendalam. Maka dengan demikian lafadz itu dianggap samar bila
dihubungkan dengan beberapa satuan (afrad) tersebut. Sumber kesamaran ini ialah
satuan lafadz itu merupakan sifat tambahan atas satuan-satuan lainnya atau
satuan itu mengurangi suatu sifat dari satuan satuan itu atau ia mempunyai
nama-nama yang khusus. Maka penambahan, pengurangan atau penamaan yang khusus
itu menjadikan lafadz sebagai tempat kesamaran. Lafadz itu samar bila
dihubungkan dengan satuan ini, karena diperolehnya lafadz satuan ini tidak
dapat dipahami dari keadaan lafadz itu sendiri, bahkan memerlukan faktor dari
luar. Contohnya:
Arti pencuri dalam surat al-Maidah ayat 38:
Dalam ayat tersebut secara umum pengertian pencuri cukup jelas,
yaitu orang yang mengambil harta orang lain secara sembunyi dari tempat
penyimpanan yang layak baginya. Ketidak jelasan timbul ketika menerapkan ayat
itu kepada tukang copet yang secara lihai bisa memanfaatkan kelalaian seseorang
untuk menguras hartanya apakah termasuk kedalam pengertian pencuri atau tidak?
Untuk mencari jawabannya adalah dengan jalan ijtihad, dengan meneliti apakah
pengertian itu termasuk ke dalam pengertian ayat sesuai dengan dengan cara
suatu lafal menunjukkan suatu pengertian.
2.
2. Al-Musykil:
menurut istilah ulama ushul ialah lafadz
yang bentuknya sendiri tidak menunjukkan
pada artinya, namun harus ada petunjuk luar yang menjelaskan apa yang
dimaksudknnya. Petunjuk ini dapat ditemukan melalui pembahasan. Kesamaran dalam
al-musykil adalah dari lafadznya sendiri, sebab secara bahasa al-musykil itu
merupakan objek beberapa arti. Pengertian yang tidak dimaksud tidak dapat
dipahami dengan sendirinya atau karena ada kontradiksi pemahaman antara satu
nash dengan nash lainnya. Misalnya:
Lafal quru’ (jamak dari qur’un) dalam ayat 228 surat al-baqarah:
Kata quru dalam ayat tersebut dalam pemakaian bahasa arab bisa
berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haid. Imam syafii mengartikannya
dengan masa suci, sedangkan Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haid.
Masing-masing mengambil kesimpulan yang berbeda itu didasarkan kepada qarinah
atau dalil dari luar yang berbeda pula. Begitulah setiap lafal musykil dalam
al-quran dan sunnah, untuk memahaminya memerlukan upaya ijtihad dalam mencari tanda-tanda
atau dalil-dalil yang membantu untuk memperjelas pengertiannya.
3.
3. Al-Mujmal:
menurut istilah ulama ushul ialah lafadz yang bentuknya tidak dapat menunjukkan
pengertian yang dikandung olehnya dan tidak terdapat petunjuk-petunjuk lafadz
atau keadaan lafadz yang menjelaskannya, jadi sebab kesamaran dalam al-mujmal
ini bersifat lafdzi, bukan sifat yang baru datang. Contohnya: lafal shalat,
zakat dan haji dan lain-lain lagi lafal yang bukan dimaksud semata-mata
pengertiannya secara bahasa tetapi pengertian khusus menurut syara. Untuk
mencari kejelasan pengertiannya, seperti dijelaskan Adib Shalih, bukan dengan
jalan ijtihad namun dari pembuat syariat sendiri. Untuk contoh-contoh diatas,
sunnah Rasulullah berfungsi untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan
istilah-istilah tersebut.
4. 4. Al-Mutasyabih:
menurut istilah ulam ushul ialah lafadz yang bentuknya sendiri tidak
menunjukkan pada maksudnya dan tidak ada petunjuk luar yang menjelaskannya.
Dengan pengertian ini al-mutasyabih tidak terdapat dalam nash-nash syara’
sedikitpun. Contohnya:
Bentuk huruf-huruf terpotong-potong yang biasa terletak di awal
surah. Misalnya alif, lam, mim yang terletak di awal surah al-baqarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar